Suara.com - Sejumlah pakar dan akademisi hukum terkemuka yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyuarakan alarm tanda bahaya bagi demokrasi Indonesia.
Mereka menyatakan bahwa proses hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, bukanlah penegakan hukum murni, melainkan sebuah political motivated prosecution—penuntutan yang didasari motif politik.
Pernyataan sikap ini didukung oleh nama-nama besar seperti Guru Besar Hukum UI Sulistyowati Irianto, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, dan pengajar STH Jentera Usman Hamid.
Mereka menilai vonis dan tuntutan terhadap kedua tokoh tersebut sarat akan kejanggalan.
"Kasus ini nampak menjelma sebagai political motivated prosecution," kata Usman Hamid di Gedung Fakultas Hukum UI, Salemba, Senin (21/7/2025).
Usman menjelaskan, penuntutan bermotif politik merupakan fenomena yang lazim terjadi di negara otoriter atau negara dengan demokrasi yang lemah. Praktik ini, menurutnya, digunakan sebagai alat untuk membungkam lawan politik dan melanggengkan kekuasaan.
"Kasus seperti ini adalah fenomena yang umum terjadi di negara-negara yang dipimpin penguasa yang otoriter dan populis," jelas Usman.
Koalisi ini mengutip pandangan ahli politik Universitas Harvard, Steven Levitsky, yang menyatakan, "penguasa populis otoriter sering menggunakan hukum sebagai senjata untuk menyerang lawan politik, dan mempertahankan kekuasaan."
Kejanggalan Kasus Hasto dan Tom Lembong
Baca Juga: Raim Laode Kirim Pesan Puitis untuk Tom Lembong: Kebenaran Tidak Mati, Dia Hanya Tidur
Menurut analisis koalisi, tuntutan tujuh tahun penjara terhadap Hasto Kristiyanto tidak bisa dilepaskan dari sikap kritisnya terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kejanggalan semakin terasa karena kasus ini baru gencar diproses setelah PDIP dan Jokowi tidak lagi sejalan.
Hal serupa juga terlihat dalam kasus impor gula yang menjerat Tom Lembong. Mereka berpendapat, Tom sebagai menteri perdagangan saat itu hanya menjalankan fungsi administratif dan kebijakannya pun berada dalam sepengetahuan Presiden Jokowi.
Koalisi menegaskan bahwa jika peradilan gagal melihat konteks ini dan tetap menghukum keduanya, ini akan menjadi sinyal buruk bagi matinya independensi peradilan dan demokrasi di Indonesia.
Di tengah ancaman ini, para akademisi menaruh harapan pada para hakim sebagai benteng terakhir keadilan. Menurut mereka, hakim tidak boleh hanya membaca hukum sebatas teks, tetapi juga wajib memahami konteks politik di baliknya.
"Hakim seharusnya mempertimbangkan motif politik di balik penuntutan dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan berdasarkan hukum, bukan politik," ujar Usman.
"Dalam upayanya menjaga kemandirian, hakim seharusnya berani membebaskan diri dari tekanan politik, sebagaimana sumpahnya."
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 8 Bedak Translucent untuk Usia 50-an, Wajah Jadi Flawless dan Natural
- Sepatu On Cloud Ori Berapa Harganya? Cek 5 Rekomendasi Paling Empuk buat Harian
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- Pemain Keturunan Jerman Ogah Kembali ke Indonesia, Bongkar 2 Faktor
Pilihan
-
Hasil SEA Games 2025: Mutiara Ayu Pahlawan, Indonesia Siap Hajar Thailand di Final
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
Terkini
-
DPR Usul Presiden Bentuk Kementerian Bencana: Jadi Ada Dirjen Longsor, Dirjen Banjir
-
Pemerintah Pulangkan 2 WN Belanda Terpidana Kasus Narkotika Hukuman Mati dan Seumur Hidup
-
Aksi 4 Ekor Gajah di Pidie Jaya, Jadi 'Kuli Panggul' Sekaligus Penyembuh Trauma
-
Legislator DPR Desak Revisi UU ITE: Sikat Buzzer Destruktif Tanpa Perlu Laporan Publik!
-
Lawatan ke Islamabad, 6 Jet Tempur Sambut Kedatangan Prabowo di Langit Pakistan
-
Kemensos Wisuda 133 Masyarakat yang Dianggap Naik Kelas Ekonomi, Tak Lagi Dapat Bansos Tahun Depan
-
27 Sampel Kayu Jadi Kunci: Bareskrim Sisir Hulu Sungai Garoga, Jejak PT TBS Terendus di Banjir Sumut
-
Kerugian Negara Ditaksir Rp2,1 T, Nadiem Cs Segera Jalani Persidangan
-
Gebrakan KemenHAM di Musrenbang 2025: Pembangunan Wajib Berbasis HAM, Tak Cuma Kejar Angka
-
LBH PBNU 'Sentil' Gus Nadir: Marwah Apa Jika Syuriah Cacat Prosedur dan Abaikan Kiai Sepuh?