News / Nasional
Senin, 13 Oktober 2025 | 15:44 WIB
Joint Secretary of The Independent Press Council of Myanmar (IPCM) Su Myat Wai. [Suara.com/Ramadhani]
Baca 10 detik
  • Empat tahun pasca-kudeta, jurnalis Myanmar hidup dalam teror.
  • Diburu militer, diasingkan, dan jadi target serangan udara.
  • Mereka kini andalkan 'mata-mata' jurnalis warga untuk

Suara.com - Empat tahun setelah kudeta militer, Myanmar telah berubah menjadi neraka bagi para jurnalis.

Hidup di bawah ancaman penangkapan, pengasingan, hingga serangan udara, para pewarta kini terpaksa bekerja secara diam-diam dan mengandalkan 'mata' warga biasa untuk terus menyuarakan kebenaran.

Joint Secretary of The Independent Press Council of Myanmar (IPCM) Su Myat Wai, berbagi kisah mencekam tentang bagaimana rekan-rekannya bertahan di tengah represi junta. Menurutnya, jurnalis kini menjadi target utama militer.

"Sejak 2021, militer bisa saja punya rencana agar jurnalis Myanmar tidak bisa tinggal lebih lama di Myanmar, karena jurnalis menjadi target penangkapan militer," cerita Su Myat Wai saat berkunjung ke kantor Suara.com, Jakarta, Senin (13/10/2025).

Banyak jurnalis yang mencoba bertahan di dalam negeri akhirnya menyerah setelah 2-3 bulan dan terpaksa melarikan diri ke Thailand, India, atau negara Barat lainnya.

Mengandalkan 'Mata' Warga

Di tengah situasi yang semakin mencekik, media-media independent Myanmar kini sangat bergantung pada jurnalis warga.

Mereka menjadi pahlawan tanpa nama yang menyamar dalam berbagai profesi untuk bisa mengumpulkan informasi.

"Dari daerah setempat, makanya media mengandalkan jurnalis warga. Jurnalis warga juga bekerja secara rahasia di berbagai bidang, seperti pebisnis atau anggota angkatan bersenjata, jadi ya mereka harus bekerja secara rahasia dalam situasi terkini," katanya.

Baca Juga: Mengapa Junta Myanmar Jatuhkan Bom ke Festival Bulan Purnama? Tewaskan 40 Warga

Perjuangan tidak berhenti setelah informasi didapat. Serangan udara yang konstan membuat akses internet di banyak wilayah lumpuh total.

Untuk sekadar mengirim berita, seorang jurnalis lapangan harus menempuh perjalanan berbahaya selama berhari-hari.

"Mereka tidak bisa menggunakan akses internet dengan mudah. Bahkan para jurnalis harus melakukan perjalanan ke area (yang memiliki) akses internet selama satu atau dua hari untuk mengirim berita ke media," ungkapnya.

Kontrol militer yang ketat juga membuat sumber-sumber berita ketakutan untuk berbicara.

"Akhir-akhir ini situasinya sangat sulit karena kontrol militer. Jadi orang-orang tidak bisa menjawab dengan mudah," kata Su Myat Wai.

Sejak kudeta menggulingkan Pemerintahan Sipil Aung San Suu Kyi pada 2021, Myanmar menjadi salah satu negara paling berbahaya bagi jurnalis di Asia.

Load More