- Gagasan publik membeli hutan negara urung terlaksana karena bertentangan dengan UUD 1945 dan pernyataan resmi pemerintah.
- Konsep penggalangan dana bisa diterapkan pada lahan pribadi menggunakan model *Land Trust* melalui perantara NGO.
- Viralnya isu ini menandakan adanya krisis kepercayaan publik terhadap kemampuan negara dalam tata kelola kehutanan.
"Di sana, strategi land trust ini akan membutuhkan pihak intermediari (broker) yang biasanya berbentuk NGO sebagai lembaga wali amat yang menjalankan peran menjaga land trustee tersebut," kata I Gusti.
Dalam skema ini, dana publik yang terkumpul digunakan oleh sebuah yayasan atau NGO untuk membeli lahan pribadi yang kritis.
Lahan tersebut kemudian disertifikatkan atas nama yayasan, yang dalam anggaran dasarnya "mengunci" fungsi lahan tersebut untuk konservasi selamanya, mencegahnya dijual kembali untuk kepentingan komersial.
Gerakan Simbolik: Kritik Keras untuk Negara
Terlepas dari kerumitan hukumnya, viralnya seruan ini memiliki makna yang lebih dalam. Para pakar melihatnya sebagai puncak dari kekecewaan dan krisis kepercayaan publik terhadap kemampuan negara dalam mengelola dan melindungi hutan.
"Wajar kekecewaan publik tersebut melihat banjir yang besar dan memakan korban banyak," kata Yuki Wardhana dari UI.
Sentimen ini diperkuat oleh I Gusti Agung. Menurutnya, inisiasi Pandawara menunjukkan "krisis kepercayaan pada institusi pengelola hutan." Ia menambahkan, "Respons ini harus dilihat dari semakin jatuhnya legitimasi negara sebagai trustee (wali amanat) dari hutan sehingga publik merasa membutuhkan lembaga swasta untuk mengelola hutan."
Suara dari parlemen pun menangkap sinyal yang sama. Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menyebut fenomena ini sebagai kritik keras terhadap tata kelola kehutanan, meski ia mengingatkan bahwa perlindungan hutan sejatinya adalah kewajiban negara.
Tantangan dan Jalan Tengah yang Lebih Realistis
Jika model Land Trust pada lahan pribadi pun dijalankan, tantangannya tidak sedikit. I Gusti menjabarkan tiga risiko utama: mereduksi hutan menjadi komoditas bernilai uang, potensi eksklusi terhadap warga yang tidak ikut patungan, dan sulitnya menemukan lembaga wali amanat yang benar-benar bisa dipercaya.
Baca Juga: Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
Lantas, adakah jalan tengah agar energi positif publik ini tidak menguap sia-sia? Para ahli menawarkan beberapa solusi konkret.
1. Model "Blended Financing" atau Pembiayaan Campuran
Yuki Wardhana mengusulkan skema kolaborasi. Masyarakat tetap melakukan patungan, namun dana yang terkumpul tidak untuk membeli, melainkan menjadi "investasi dan biaya operasional dalam pembangunan dan menjaga hutan."
Dalam model ini, pemerintah tetap menjadi pemilik dan penanggung jawab keamanan wilayah, sementara dana publik memperkuat upaya rehabilitasi, patroli, dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. "Kalau ini bisa dilakukan akan sangat membantu dalam upaya konservasi hutan kita," kata Yuki.
2. Mengalihkan Dana untuk Perjuangan Politik
I Gusti Agung Made Wardhana menawarkan perspektif yang lebih politis. Dana patungan yang masif bisa menjadi kekuatan untuk mengubah kebijakan dari dalam.
Berita Terkait
-
Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
-
Sampai Menahan Tangis, Nicholas Saputra Ungkap Keresahan Terdalam Soal Bencana Sumatra
-
Prabowo Perintahkan Menhut Cabut 22 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Seluas 1 Juta Hektare
-
Banjir Aceh: Bukan Sekadar Hujan, tapi Tragedi Ekologis Hutan yang Hilang
-
Reforestasi Bukan Sekadar Menanam Pohon, Ini Upaya Memulihkan Ekosistem
Terpopuler
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- 7 HP Samsung Seri A Turun Harga hingga Rp 1 Jutaan, Mana yang Paling Worth It?
Pilihan
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
-
Viral Atlet Indonesia Lagi Hamil 4 Bulan Tetap Bertanding di SEA Games 2025, Eh Dapat Emas
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
Terkini
-
Peradilan Militer Dinilai Tidak Adil, Keluarga Korban Kekerasan Anggota TNI Gugat UU ke MK
-
Ria Ricis dan Selebriti Pandu Shopee Live Superstar, Jumlah Produk Terjual Naik Hingga 16 Kali
-
5 Kali Sufmi Dasco Pasang Badan Bela Rakyat Kecil di Tahun 2025
-
Kelola Sendiri Sampah MBG, SPPG Mutiara Keraton Solo di Bogor Klaim Untung hingga 1.000 Persen
-
Di Hadapan Kepala Daerah, Prabowo Ingin Kelapa Sawit Jamah Tanah Papua, Apa Alasannya?
-
Komnas Perempuan: Situasi HAM di Papua Bukan Membaik, Justru Makin Memburuk
-
Jaksa Agung: KUHP-KUHAP Baru Akan Ubah Wajah Hukum dari Warisan Kolonial
-
15 WN China Serang TNI di Area Tambang Emas Ketapang: 5 Fakta dan Kondisi Terkini
-
LBH: Operasi Militer di Papua Ilegal dan Terstruktur Sistematis Sejak 1961
-
YLBHI: Kekuasan Polri di Ranah Sipil Mirip ABRI Zaman Orde Baru