Suara.com - Seorang perempuan berusia 102 tahun dinobatkan sebagai manusia tertua di dunia yang meraih gelar doktor pada Selasa (9/6/2015), 80 tahun setelah rezim Nazi Jerman melarangnya mengikuti ujian akhir.
Ingeborg Rapoport menyelesaikan studi kedokterannya pada 1937. Ia menulis tesis tentang diphtheria, sebuah masalah kesehatan serius di Jerman ketika itu.
Tetapi karena ibunya berdarah Yahudi, ia tak diizinkan mengikuti ujian lisan di Universitas Hamburg. Undang-undang rasial Adolf Hitler, yang mendiskriminasi warga keturunan Yahudi, membuat Rapoport gagal meraih gelar doktor.
Tetapi kini Universitas Hamburg memutuskan untuk menebus kesalahan mereka di masa silam. Tiga orang dosen dari universitas itu berangkat ke kediaman Ingeborg pada Mei lalu. Mereka menguji tesis yang ditulis perempuan tua itu di masa sebelum Perang Dunia II.
Untuk mempersiapkan ujiannya, Ingeborg meminta seorang sahabat untuk membantunya melakukan riset online tentang apa saja perkembangan di bidang diphtheria selama 80 tahun terakhir.
"Universitas Hamburg ingin menegakkan keadilan. Mereka sangat sabar terhadap saya dan karenanya saya sangat bersyukur," kata Ingeborg.
Alhasil, ketiga dosen penguji itu kagum dan menyatakan Ingeborg lulus. Dalam sebuah upacara khusus yang digelar di Pusat Studi Kesehatan Universitas Hamburg, Selasa kemarin, Ingeborg akhirnya menerima gelar doktor yang dirampas Nazi delapan dekade silam.
"Ini soal prinsip. Saya tak ingin mempertahankan tesis ini demi kepentingan saya saja. Apa lagi, saya sudah berusia 102 tahun. Saya melakukan ini untuk para korban kekejaman Nazi," ujar Ingeborg.
Jalan Panjang
Pada 1938, ketika Jerman tak lagi aman untuk orang Yahudi, Ingeborg mengungsi ke Amerika Serikat. Di AS ia kembali bersekolah dan meraih gelar doktor.
Di negara barunya itu Rapoport bertemu dengan Samuel Mitja Rapoport, seorang pakar biokimia. Lelaki itu, yang seorang pelarian Yahudi dari Wina, Austria, akhirnya menikah dengan Ingeborg.
Tetapi pada dekade 1950an, Ingeborg sekali lagi menemukan diri terperangkap di tempat yang berbahaya. Ia dan suaminya terancam dikejar-kejar oleh pemerintah AS karena keduanya berpaham komunis.
Ingeborg dan suaminya kemudian kembali melarikan diri ke Jerman. Kali ini pasangan itu memilih untuk menetap di Berlin Timur, yang saat itu masih berada di bawah pemerintahan komunis.
Di sana ia bekerja sebagai dokter anak di Rumah Sakit Charite, sebuah fasilitas kesehatan ternama di Berlin Timur. Ia bahkan menerima penghargaan nasional karena dinilai berhasil menekan angka kematian anak di Jerman Timur. (BBC)
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
Terkini
-
Panduan Mudah: Cara Memblokir dan Membuka Blokir Situs Internet di Firefox
-
Ponsel Murah Terancam Punah Tahun 2026, Apa itu Krisis RAM?
-
Fakta Unik Burung Walet Kelapa: Otot Sayap Tangguh bak Kawat, Mampu Terbang Nonstop Hingga 10 Bulan
-
Cara Tukar Poin SmartPoin Smartfren Jadi Pulsa
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Update Terbaru Stardew Valley 1.7: Bocoran Ladang Baru hingga Tanggal Rilis
-
Riot Games Siapkan Perombakan Besar League of Legends pada 2027
-
Registrasi Kartu SIM Berbasis Biometrik Picu Kekhawatiran Keamanan Data Pribadi