Tekno / Sains
Sabtu, 03 Oktober 2020 | 06:15 WIB
Sejumlah pendukung pasangan capres dan cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengikuti kampanye akbar di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (7/4). [Suara.com/Muhaimin A Untung]

Pada pemilu 2009, daftar kandidat berubah dari tertutup menjadi terbuka. Pergantian ini hasil dari keputusan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2008.

Putusan tersebut didukung oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat dan pengamat media yang mengklaim bahwa sistem baru itu bisa mengurangi kekuatan elite dalam mengontrol partai politik Indonesia.

Hal ini berarti, masyarakat dapat memilih kandidat individu, dan partai harus mengalokasikan kursinya kepada kandidat yang memiliki suara tertinggi dalam pemilihan.

Perubahan ini membawa dampak drastis pada cara para kandidat berkampanye.

Kampanye pemilu

Untuk memahami dampak dari perubahan aturan ini terhadap berbagai perilaku kampanye, saya mempelajari ratusan berita koran tentang pemilu yang terbit sejak 1997-2004 dan membandingkan dengan berita pada periode 2009-2014.

Berita-berita tersebut diambil dari Waspada, sebuah surat kabar lokal besar yang melayani pembaca di berbagai daerah di Sumatra Utara. Dalam studi saya, setiap berita dikategorikan sesuai tipe acara kampanye, dukungan, dan upaya menarik dukungan dari kelompok tertentu.

Hasil dari sebelum pemilu 2009 menunjukkan bahwa kandidat berkampanye utamanya dalam acara kampanye besar partai bersama dengan pemimpin partai dan kandidat lainnya.

Para kandidat mencari dukungan dari pemimpin partai di tingkat daerah dan nasional serta berbicara pada pendukung setia partai.

Baca Juga: Masa Kampanye, KPU Bantul: Pemasangan APK Harus Tetap Perhatikan Estetika

Karena sistem yang tertutup, kandidat fokus untuk memenangkan suara untuk partai dan berupaya berada pada peringkat tinggi dalam daftar calon.

Untuk meyakinkan para pemimpin partai yang mengatur daftar calon dan membantu partai mendapatkan suara, para kandidat perlu menunjukkan loyalitas mereka terhadap partai dan mengkampanyekan program dan kepemimpinan partai.

Oleh karena itu, kampanye saat itu menjadi sangat partai-sentris.

Sejak 2009, karena konstituen dapat memilih kandidat tertentu, para pemilih menjadi lebih tertarik untuk mengetahui siapa-siapa saja kandidat ini.

Untuk memenangkan suara individu, kandidat mengubah taktik mereka. Di samping meyakinkan para pemimpin partai, mereka mulai fokus pada kelompok-kelompok pemilih terutama kelompok etnis, agama, dan komunitas lokal.

Ini tentu tidak mengejutkan, karena kelompok-kelompok ini membentuk jalinan masyarakat Indonesia.

Load More