Suara.com - M Akbar Rhamdhani, pakar metalurgi dari Swinburne University of Technology, Australia mengatakan limbah elektronik di Indonesia berpotensi menghasilkan uang senilai 14 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 200 triliun di 2040. Simak ulasannya berikut ini:
Indonesia adalah negara dengan populasi keempat terbesar dan salah satu konsumen elektronik terbesar di dunia. Akibatnya, Indonesia banyak menghasilkan peralatan elektronik dan listrik bekas, yang dikenal sebagai e-waste atau limbah elektronik.
Limbah elektronik ini bisa berupa ponsel, tablet, laptop, komputer pribadi dan baterai yang sudah habis masa pakainya, hingga televisi dan barang-barang elektronik rumah tangga berukuran besar seperti lemari es dan mesin cuci.
Paper baru kami memperkirakan Indonesia dapat menghasilkan sekitar 2 juta ton limbah elektronik pada 2021, yang merupakan yang terbanyak di Asia Tenggara.
Jika bisa dimanfaatkan dengan didaur ulang, maka pada 2040, potensi ekonomi limbah elektronik di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 14 miliar atau setara dengan Rp 200 triliun.
Bagaimana kita dapat menghasilkan uang dari limbah elektronik
E-waste menawarkan peluang ekonomi bagi Indonesia jika kita bisa mendaur ulangnya.
Meski mengandung unsur-unsur berbahaya yang perlu diproses dan ditampung, e-waste juga mencakup logam berharga seperti tembaga, emas, perak, platinum, paladium, dan logam berharga lainnya untuk teknologi yang kita gunakan setiap hari.
Konsentrasi logam yang dipilih dalam limbah elektronik, dalam beberapa kasus, lebih tinggi daripada di mineral atau bijih primernya di bawah tanah.
Baca Juga: Dalam 9 Bulan Terakhir, Limbah Elektronik di Jakarta Capai 22 Ton
Salah satu contoh: dibutuhkan sekitar 0,5-1 ton bijih emas untuk menghasilkan emas dalam sebuah cincin nikah (sekitar 2 gram). Jumlah emas yang sama ini dapat diperoleh hanya dari 15-30 kilogram ponsel yang masa pakainya sudah habis.
Karenanya sumber daya dari “perkotaan” ini dapat menjadi sumber alternatif untuk produksi logam.
Produksi limbah elektronik tahunan di Indonesia diproyeksikan meningkat menjadi 3,2 juta ton dalam 20 tahun. Itu berarti sekitar 10 kg sampah elektronik per orang pada 2040, meningkat dari 7,3 kg per orang saat ini.
Studi yang disebutkan di atas juga menyoroti bahwa sebagian besar limbah elektronik berada di pulau-pulau besar dengan populasi besar. Jawa, pulau terpadat di Indonesia, diperkirakan menghasilkan sekitar 56% limbah elektronik nasional.
Apa yang bisa dilakukan
Saya percaya kunci untuk memanfaatkan nilai ekonomi limbah elektronik bisa dimulai dengan mengembangkan sistem daur ulang yang sesuai.
Pemerintah saat ini sedang mengembangkan Strategi Ekonomi Sirkular Nasional. Pengelolaan limbah elektronik yang komprehensif adalah salah satu aspek yang dipertimbangkan.
Tidak seperti limbah plastik, limbah elektronik harus dianggap sebagai sumber daya logam - seperti mineral utama yang ditambang di bawah tanah. Kita harus fokus pada pemrosesan limbah elektronik untuk mendapatkan logam berharga ini.
Strategi pengolahan limbah elektronik dapat diselaraskan dengan strategi nasional untuk penambangan dan pengolahan mineral.
Daur ulang yang berkelanjutan dan ramah lingkungan serta pemulihan logam berharga dari limbah elektronik tidak akan mudah, ini karena kerumitan sumber daya dan kebutuhan untuk mengelola elemen yang berbahaya.
Di negara maju seperti Belgia, Jerman, Korea Selatan, dan Selandia Baru, rute utama untuk daur ulang dan pemulihan elemen berharga adalah melalui proses kimia gabungan, limbah elektronik dikirim ke fasilitas peleburan terpusat yang besar. Di sana, limbah elektronik diproses bersama dengan produksi logam dasar non-besi seperti tembaga, timbal, dan seng.
Logam-logam ini bertindak sebagai pelarut untuk menyerap unsur-unsur berharga, yang kemudian dipisahkan dalam proses kimiawi hilir.
Di fasilitas sebesar itu, lebih mudah untuk mengelola elemen berbahaya karena peralatan yang ada untuk mengolah mineral primer juga dapat digunakan untuk menangani emisi berbahaya selama pemrosesan limbah elektronik.
Sebagai negara kepulauan, kondisi geografis Indonesia sulit untuk menerapkan model terpusat yang sama.
Untungnya, sejumlah pabrik peleburan atau penyulingan telah tersedia di pulau-pulau besar di seluruh nusantara untuk menjadi bagian dari sistem dan infrastruktur daur ulang secara keseluruhan.
Saya yakin solusinya akan mencakup integrasi teknis dan logistik dari teknologi yang sesuai untuk membentuk rantai daur ulang lengkap dengan pengenalan fasilitas daur ulang bergerak.
Fasilitas ini beroperasi pada kapasitas kecil dan mewakili setiap tahap pemrosesan limbah elektronik - pembongkaran, pemrosesan mekanis, dan pemrosesan metalurgi. Mereka dapat ditempatkan di pulau-pulau besar untuk mendukung pabrik peleburan utama.
Fasilitas ini dapat diintegrasikan dengan pengumpulan limbah elektronik, baik secara resmi oleh pemerintah provinsi maupun oleh pemulung, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.
Ada juga beberapa fasilitas metalurgi yang beroperasi sebagai operasi individu yang menghasilkan produk-produk setengah jadi. Mereka dapat berfungsi sebagai pemasok untuk fasilitas bergerak berikutnya atau untuk industri peleburan atau logam terintegrasi yang lebih besar.
Memecah keseluruhan proses daur ulang menjadi operasi yang lebih kecil berarti dibutuhkan investasi modal yang lebih kecil. Ini akan membantu menarik industri yang lebih kecil dan merangsang terciptanya banyak industri daur ulang baru yang mendukung ekonomi sirkular. Kesulitannya adalah industri yang lebih kecil harus diatur dan didukung dengan lebih baik.
Mengembangkan strategi komprehensif dan sistem daur ulang untuk limbah elektronik tidaklah mudah. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan di luar aspek teknis, termasuk aspek ekonomi, logistik, lingkungan, dan sosial budaya.
Namun, dengan upaya terpadu dan strategis, kita dapat memanfaatkan nilai ekonominya dengan mengubah sampah ini menjadi sumber pendapatan.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Berita Terkait
-
DLH DKI Jakarta Luncurkan Layanan Penjemputan Sampah Besar dan Elektronik Secara Online
-
LG Edukasi Anak-anak Ubah Sampah Elektronik jadi Karya Bernilai
-
Lonjakan Sampah Elektronik Jadi Alarm Keras: Bagaimana Solusi Nyata Hadapi Ancaman Ini?
-
Elektronik yang Larut dan Ramah Lingkungan: Masa Depan Tanpa Sampah Teknologi?
-
Darurat Sampah Elektronik, Erajaya Digital Daur Ulang 1.900 Gawai
Terpopuler
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Calon Pelatih Indonesia John Herdman Ngaku Dapat Tawaran Timnas tapi Harus Izin Istri
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
Pilihan
-
CERPEN: Liak
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
Terkini
-
55 Kode Redeem FF 12 Desember 2025: Klaim Skin Salju Gratis dan Bundle Yeti
-
Takut Kehilangan? Ini Cara Mudah Menambahkan AirPods ke Find My iPhone
-
29 Kode Redeem FC Mobile 12 Desember 2025: Tips Berburu Mane dan Gaet Nedved 115 Gratis
-
7 Rekomendasi Memori HP MicroSD Card Terbaik, Kecepatan Baca Super Ngebut Anti Lemot
-
Clair Obscur Expedition 33 Borong Penghargaan di The Game Awards 2025
-
Redmi TV X 2026 Resmi Debut: Tawarkan Panel Mini LED 50 Inci, Harga Rp5 Jutaan
-
51 Kode Redeem FF Terbaru 12 Desember 2025, Klaim Emote Moonwalk dan Skin Winterland
-
Dua Game Baru Tomb Raider Muncul di TGA 2025, Sasar Konsol dan PC
-
23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 12 Desember 2025, Klaim Kartu Glorious dan 5.000 Gems
-
Sony A7 V Resmi Dirilis: Cek Harga, Spesifikasi Lengkap, dan Promo Pre-Order Desember 2025