Suara.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2015 hanya 4,7 persen year on year (yoy), atau melambat bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni 5,14 persen. Melambatnya pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada daya beli masyarakat yang menurun.
Menanggapi hal tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai ada dua faktor yang membuat kondisi perekonomian Indonesia melambat. Kedua faktor tersebut adalah faktor ekonomi dan non-ekonomi.
Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati menjelaskan, untuk faktor ekonomi, hal itu karena dipengaruhi kondisi ekonomi global yang sedang begelojak. Sedangkan untuk faktor non-ekonomi yang turut mempengaruhi lambatnya perekonomian, di antaranya menurutnya adalah tim ekonomi Kabinet Kerja Jokowi-JK yang dinilai tidak cakap dan tak seperti yang diharapkan.
"Kecakapan tim ekonomi ini yang menjadi persoalan. Pemerintah tak sigap mengantisipasi berbagai rintangan. Pemerintah hampir tidak melakukan apa-apa," ungkap Enny, saat ditemui di kantornya, Jumat (8/5/2015).
Menurut Enny lagi, lemahnya tim ekonomi Jokowi-JK selama ini antara lain karena tidak memiliki kalkulasi kebijakan ekonomi yang tepat untuk diterapkan. Hal ini mengakibatkan kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah justru berdampak negatif bagi masyarakat.
"Misalnya, di tim ekonomi terjadi lemahnya koordinasi kebijakan antarsektor. Ketiadaan kalkulasi kebijakan ekonomi yang tidak tepat berakibat memukul daya beli masyarakat," jelasnya.
Di sisi yang lain, menurut Enny, target-target yang ditetapkan juga dinilai terlalu tinggi. Selain itu, pemerintahan Jokowi-JK juga dinilainya sibuk mencari kambing hitam dalam menghadapi suatu persoalan.
Menurut Enny, meski proses transisi pemerintahan turut menyumbangkan dampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi, namun hal itu seharusnya sudah diantisipasi sejak awal. Dalam hal ini menurutnya, pemerintah cenderung hampir tidak melakukan apa-apa.
"Memang ada transisi pemerintah. Perombakan susunan kementerian dan lembaga menyebabkan perubahan nomenklatur yang berdampak pada keterlambatan realisasi anggaran. Tapi seharusnya sudah ada tindakan antisipasinya. Ini menunjukkan koordinasi lemah dan leadership lemah," kata dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
-
Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
-
Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
-
Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
-
Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
Terkini
-
Kenapa Proyek Jalan Trans Halmahera Disebut Hanya Untungkan Korporasi Tambang?
-
Bertemu Wapres Gibran, Komite Otsus Papua Minta Tambahan Anggaran Hingga Dana BLT Langsung ke Rakyat
-
Sambut Bryan Adams Live in Jakarta 2026, BRI Sediakan Tiket Eksklusif Lewat BRImo
-
Kuartal Panas Crypto 2025: Lonjakan Volume, Arus Institusional dan Minat Baru Investor
-
Proyek Waste to Energy Jangan Hanya Akal-akalan dan Timbulkan Masalah Baru
-
Geger Fraud Rp30 Miliar di Maybank Hingga Nasabah Meninggal Dunia, OJK: Kejadian Serius!
-
Laba PT Timah Anjlok 33 Persen di Kuartal III 2025
-
Kala Purbaya Ingin Rakyat Kaya
-
Didesak Pensiun, Ini Daftar 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia
-
IHSG Berakhir Merosot Dipicu Aksi Jual Bersih Asing