Suara.com - Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa rupiah selama triwulan I 2017 mengalami apresiasi sebesar 1,09 persen (year to date) menjadi Rp13.326 per dolar AS.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI April 2017 di Jakarta, Kamis (20/4/2017), mengatakan bahwa penguatan rupiah ditopang stabilitas makroekonomi, persepsi positif prospek perekonomian, serta risiko global yang berkurang.
"Penguatan rupiah didukung oleh aliran modal asing yang terus meningkat sejalan dengan prospek investasi pada aset domestik yang menarik bagi investor asing, serta membaiknya faktor global," kata dia.
Tirta menyebutkan, aliran dana asing yang masuk tersebut terutama dalam bentuk pembelian saham dan Surat Utang Negara.
Dia pun menyatakan bahwa Bank Indonesia akan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi untuk mendorong nilai tukar sesuai dengan nilai fundamentalnya, dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Sementara itu, Bank Indonesia juga mencatat bahwa rencana normalisasi Bank Sentral AS dengan melepas pemilikan surat berharga, dapat mengusik penguatan nilai tukar rupiah. Asisten Gubernur Kepala Departemen Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo, mengatakan bahwa Bank Sentral AS saat ini memegang 3,5 triliun dolar AS dalam bentuk US Treasury Note dan sekitar 1 triliun dolar AS dalam bentuk mortgage-backed securities.
Normalisasi atau penurunan besaran neraca Bank Sentral AS memungkinkan pemilikan daripada surat berharga yang selama ini dihimpun The Fed akan dilepas. Dody mengatakan, pada saat sekuritas tersebut dilepas, maka likuiditas akan diserap kembali kepada bank sentral.
"Akan ada pengurangan likuiditas valas secara global, tergantung berapa jumlah yang dilepas. Ini tentunya secara bertahap akan dilepas satu per satu. Mekanisme dan strateginya bagaimana, itu belum kami dengar dari The Fed," kata dia.
Dikatakan Dody, dampak normalisasi tersebut pada negara berkembang adalah kemungkinan penguatan dolar AS akibat likuiditas valas global yang terserap ke sistem moneter Bank Sentral AS. Dikatakannya, meskipun valas terserap ke sistem moneter AS, namun masih akan ada penempatan dana di negara berkembang dalam konteks investasi portofolio.
"Sepanjang fundamentalnya dijaga, tetap akan ada aliran dana ke negara berkembang. Indonesia masih cukup diminati dalam konteks return yang diperoleh investor," ucap dia. [Antara]
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
-
Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
-
Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
-
Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
-
Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
Terkini
-
Kenapa Proyek Jalan Trans Halmahera Disebut Hanya Untungkan Korporasi Tambang?
-
Bertemu Wapres Gibran, Komite Otsus Papua Minta Tambahan Anggaran Hingga Dana BLT Langsung ke Rakyat
-
Sambut Bryan Adams Live in Jakarta 2026, BRI Sediakan Tiket Eksklusif Lewat BRImo
-
Proyek Waste to Energy Jangan Hanya Akal-akalan dan Timbulkan Masalah Baru
-
Geger Fraud Rp30 Miliar di Maybank Hingga Nasabah Meninggal Dunia, OJK: Kejadian Serius!
-
Laba PT Timah Anjlok 33 Persen di Kuartal III 2025
-
Kala Purbaya Ingin Rakyat Kaya
-
Didesak Pensiun, Ini Daftar 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia
-
IHSG Berakhir Merosot Dipicu Aksi Jual Bersih Asing
-
Riset: Penundaan Suntik Mati PLTU Justru Bahayakan 156 Ribu Jiwa dan Rugikan Negara Rp 1,822 T