Suara.com - Kabar cukup menggemparkan datang dari adanya krisis utang yang melanda Evergrande, salah satu perusahaan properti raksasa dari Tiongkok. Perusahaan tersebut memiliki total liabilitas sekitar US$ 305 miliar. Krisis ini dikhawatirkan dapat meruntuhkan stabilitas keuangan Tiongkok maupun global.
Hal ini terjadi karena buruknya sistem yang telah sekian lama dijalankan perusahaan properti di Tiongkok, dimana perusahaan memanfaatkan utang sebesar - besarnya sebagai modal kerja usaha sehingga menyebabkan pemerintah Tiongkok menerapkan kebijakan baru yang disebut ‘three red lines’.
Pada dasarnya, kebijakan ini dicanangkan untuk menekan pertumbuhan utang perusahaan dengan mengatur batasan tiga rasio kredit utama untuk menjaga likuiditas perusahaan agar tetap berada di zona yang aman.
Kebijakan ini yang menyebabkan Evergrande mengalami gagal bayar. Selain itu, hal ini juga berdampak pada perusahaan - perusahaan pengembang lain, dimana satu persatu dari mereka mulai merasakan efek yang sama seperti yang dialami Evergrande.
Seperti pengembang properti kelas menengah Fantasia Holdings yang melewatkan pembayaran obligasi senilai US$ 205,7 juta, ditambah dengan unit bisnis perusahaan yang secara terpisah juga gagal membayar pinjaman sebesar US$ 108 juta.
Sedangkan pengembang properti lain seperti Modern Land meminta investor untuk perpanjangan 3 bulan pada obligasi US$ 250 juta yang akan jatuh tempo 25 Oktober.
Lalu bagaimanakah dampak dari kondisi krisis Evergrande dan kerawanan industri properti di Tiongkok terhadap Indonesia? Salah satu kekhawatiran dari efek Evergrande adalah kenaikan cost of fund atau biaya dana dimana jika biaya dana tinggi, maka pengembang Tiongkok yang ada di Indonesia akan otomatis tertekan.
Hal ini menyebabkan developer Tiongkok tidak bisa lagi mencari pendanaan di Indonesia akibat biaya dana yang tinggi, sehingga pasar real estate di Indonesia akan sulit bekerja sama dengan pengembang Tiongkok.
Potensi imbas ke tanah air juga dapat dilihat dari dua sisi yaitu ekspor dan hutang. Krisis likuiditas Evergrande bisa berdampak pada penurunan kepada sektor ekspor yang berorientasi dengan material properti seperti besi baja, keramik, bahan tambang sampai kayu yang masuk dalam rantai pasok industri properti di Tiongkok akan mengalami penurunan imbas krisis Evergrande.
Baca Juga: Pendapatan Ambles, Bisnis Properti Bakrie Rugi Belasan Miliar
Jika Evergrande gagal untuk melakukan pembayaran, hal ini akan berdampak negatif pada bursa saham Indonesia, dimana investor asing akan menyesuaikan kembali portfolio kepemilikan sahamnya di bursa efek Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga khawatir permasalahan akan berimbas terhadap kegiatan ekspor Indonesia ke Tiongkok. Pasalnya, Tiongkok merupakan tujuan ekspor barang dari Indonesia yang cukup berpengaruh.
Kenaikan ekspor terutama komoditas sangat dipengaruhi oleh global economic recovery yang dipengaruhi oleh Tiongkok, Eropa, dan Amerika. Ke depannya, pemerintah Indonesia akan terus mengawasi krisis gagal bayar ini seiring dengan tetap menjaga pemulihan ekonomi domestik.
“Tidak dapat dipungkiri kasus Evergrande dapat membawa dampak negatif yang berhubungan erat dengan masuknya jumlah investasi asing ke Indonesia. Namun, kita harus melihat bahwa investasi properti di Indonesia masih didominasi oleh investor lokal yang sangat memperhatikan pergerakan pasar dalam negeri, sehingga properti di sini lebih dipengaruhi oleh iklim investasi dan pergerakan perekonomian di Indonesia,” kata Johanna Gani, CEO/Managing Partner Grant Thornton Indonesia ditulis Selasa (23/11/2021).
“Selain itu kita juga harus optimis bahwa pertumbuhan ekonomi akan naik di 2022. Terlebih program pembangunan infrastruktur dari pemerintah ikut mendorong sektor properti untuk tumbuh dan berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional, terlihat dari data dari Bank Indonesia yang mencatat kredit kepemilikan rumah (KPR) yang tumbuh 8,7% per September 2021. Evergrande tidak berdampak negatif terhadap sektor properti di Indonesia secara keseluruhan, memang ada pengaruhnya terhadap kondisi pasar keuangan, terutama pada surat berharga negara (SBN) dan pasar saham tanah air namun saat ini sudah kembali pulih,” tutup Johanna.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
Terkini
-
Pelindo Gelar Live ISPS Code di Celukan Bawang untuk Antisipasi Narkoba hingga Cyber Attack
-
Mentan Amran Lepas 207 Truk Logistik ke Sumatra, Angkut Migor, Susu Hingga Beras
-
Pertamina: Operasional SPBU Bertahap Mulai Normal Pascabencana di Sumatera
-
Kriteria yang Tidak Layak Menerima Bantuan Meski Terdaftar di DTSEN
-
Dana P2P Lending PT Dana Syariah Indonesia Cuma 0,2 Persen, Tata Kola Semrawut?
-
Diversifikasi Bisa Jadi Solusi Ketahanan Pangan, Kurangi Ketergantungan Luar Daerah
-
Dasco Bocorkan Pesan Presiden Prabowo: Soal UMP 2026, Serahkan pada Saya
-
Pertamina Pasok 100.000 Barel BBM untuk SPBU Shell
-
Bitcoin Banyak Dipakai Pembayaran Global, Kalahkan Mastercard dan Visa
-
Purbaya Mau Ubah Skema Distribusi Subsidi, Ini kata ESDM