Suara.com - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan yang mengatur skema kemitraan petani plasma kelapa sawit karena dinilai tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang.
"Skema kemitraan dengan mekanisme penyerahan lahan dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan masyarakat dengan pola bagi hasil sudah tidak relevan lagi, sehingga sudah seharusnya pemerintah meninggalkan skema seperti ini," kata Kepala Advokasi SPKS Marselinus Andri dalam keterangannya.
Petani plasma adalah petani kelapa sawit yang bermitra dengan perusahaan swasta atau pemerintah dalam mengelola perkebunannya.
Andri mengungkapkan temuan utama hasil investigasi yang dilakukan The Gecko Project (organisasi investigasi soal korupsi, perubahan iklim, hutan, dan HAM) di perkebunan sawit menunjukkan skema kemitraan gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa, dan sebaliknya berpotensi mengurangi pendapatan dan lahan.
Dalam temuan The Gecko Project 2022, masyarakat yang terikat dalam skema plasma disebut memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan.
Berdasarkan kajian-kajian lepas yang ada, kebun plasma dapat menghasilkan keuntungan lebih dari Rp22 juta per hektare tiap tahun. Para petani sawit mandiri, yang menggarap kebun tanpa dukungan perusahaan perkebunan, bisa mendapat keuntungan lebih dari Rp15 juta per hektare tiap tahun.
"Namun, dari beberapa kasus plasma yang mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp2,5 juta," kata Andri.
Dalam catatan SPKS, pendapatan petani plasma umumnya sangat rendah dan tidak cukup untuk membayar angsuran utang kredit akibat rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar agronomis yang ditetapkan pemerintah.
“Situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cenderung hanya menguntungkan pihak perusahaan sebagai mitra," kata Andri.
Baca Juga: Campuran 40% Minyak Sawit di BBM Akan Dikembangkan, Pemerintah Akui Masih Terkendala
Dia menyebut peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi harus diimplementasikan, misalnya tindakan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) yang harus diterapkan.
Dari kajian yang dilakukan SPKS pada empat kabupaten penghasil sawit, lanjut Andri, rata-rata penghasilan petani swadaya mencapai Rp25 juta per hektar per tahun.
Jumlah tersebut terpaut jauh dengan pendapatan petani plasma yang seharusnya lebih besar karena pengelolaannya memenuhi standar pembiayaan serta standar teknis lainnya mulai dari pembangunan, perawatan, pemanenan untuk menunjang produksi dan produktivitas yang tinggi.
Dalam temuan The Gecko Project, lanjut Andri, perusahaan besar pembeli minyak sawit seperti Nestlé, Unilever, dan Kellog’s yang memiliki komitmen terhadap keberlanjutan dengan pembelian CPO berdasar sertifikasi, membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang membagi sedikit sekali keuntungan untuk masyarakat dalam skema kemitraan.
"Ini tentu saja kritik terhadap pihak RSPO (Roundtable and Sustainable Palm Oil) yang membiarkan produksi sawit tak sesuai ketentuan lolos dalam proses sertifikasi. Serta kritik terhadap para pembeli minyak sawit dan grup perusahaan besar di Indonesia terkait praktik sawit berkelanjutan, namun ternyata konflik masih terjadi," kata Andri.
Andri menilai RSPO maupun perusahaan pembeli minyak sawit perlu melakukan evaluasi dan pemberian sanksi yang tegas bagi perusahaan penerima sertifikat berkelanjutan atau yang menjadi pemasok CPO yang masih terlibat konflik dengan masyarakat. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Mobil Diesel Bekas di Bawah 100 Juta, Mobil Badak yang Siap Diajak Liburan Akhir Tahun 2025
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Saham Entitas Grup Astra Anjlok 5,87% Sepekan, Terseret Sentimen Penutupan Tambang Emas Martabe
-
Pemerintah Naikkan Rentang Alpha Penentuan UMP Jadi 0,5 hingga 0,9, Ini Alasannya
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
-
Resmi Melantai di Bursa, Saham Superbank Melambung Tinggi
Terkini
-
Mekanisme Buyback TLKM, Pemegang Saham Wajib Tahu
-
BI Perpanjang Batas Waktu Pembayaran Tagihan Kartu Kredit
-
Saham Entitas Grup Astra Anjlok 5,87% Sepekan, Terseret Sentimen Penutupan Tambang Emas Martabe
-
BRI Umumkan Dividen Interim 2025 Rp137 per Saham, Didukung Laba Rp41,2 Triliun
-
Pengusaha Masih Males Ambil Utang ke Bank, Dana Kredit Nganggur Capai Rp2.500 Triliun
-
Efek Banjir Sumatra, Kemenkeu Permudah Cairkan Dana Transfer ke Daerah Terdampak Bencana
-
Kemenkeu Salurkan Dana Rp 4 Miliar ke Korban Banjir Sumatra
-
Ikuti Jejak Rupiah, IHSG Meloyo Hari ini Balik ke Level 8.600
-
Harap Bersabar, Pemerintah Umumkan UMP 2026 Paling Lambat 24 Desember
-
Purbaya Akui Ada Kementerian Lelet Serap Anggaran, Dana Dikembalikan Tembus Rp 4,5 T