Suara.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang berencana mengelompokan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif di dalam kategori yang sama akan semakin menuai kontra.
Para pelaku Industri Hasil Tembakau, mulai dari petani, pekerja, pedagang, hingga konsumen bisa hadapi konsekuensi hukum yang serius. Hal ini jika, RUU ini disahkan dengan memuat pasal-pasal terkait hal tersebut.
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Aris Arif Mundayat menjelaskan, RUU ini dapat memangkas hak-hak konstitusional para pelaku usaha tembakau sampai para konsumen produk tembakau.
"Konsumen dan produk tembakau bisa tidak terlindungi secara konstitusional. Bahkan petani tembakau dapat kehilangan komoditas tembakau jika dipersepsikan sama dengan narkoba oleh aparat hukum. Perlindungan konstitusional mestinya harus jelas dan tegas agar tidak ada yang dirugikan," ujarnya seperti dikutip, Kamis (13/4/2023).
Merujuk draf RUU Kesehatan, pasal 154 ayat (3) berbunyi: zat adiktif dapat berupa: narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Dengan ketentuan tersebut, maka akan timbul konsekuensi hukum yang akan menyamakan proses produksi dan distribusi dari jenis-jenis barang adiktif tersebut. Untuk para pelaku Industri Hasil Tembakau, ini tentu akan sangat merugikan.
Alih-alih menyetarakan tembakau yang merupakan produk legal dengan narkotika dan psikotropika yang merupakan produk ilegal, Aris berpendapat agar RUU Kesehatan ini seharusnya dapat memberikan perlindungan konstitusional kepada ekosistem industri hasil tembakau, termasuk juga soal aspek pengendalian tembakau untuk tidak dikonsumsi oleh anak di bawah umur 18 tahun.
"Akibatnya bisa buruk terhadap petani tembakau. RUU ini harusnya dapat memberikan perlindungan konstitusional terhadap perokok dewasa serta anak di bawah umur," imbuhnya.
Aris menambahkan DPR harusnya lebih memprioritaskan regulasi krusial lainnya yang sedang dibahas, misalnya RUU Perampasan Aset Koruptor. Selain soal faedah yang lebih besar, ini juga untuk memangkas kapitalisme politik dari demokrasi nasional.
Baca Juga: Gaduh RUU Omnibus Law Kesehatan, Industri Tembakau juga Kena Getahnya
"Menurut saya UU perampasan aset koruptor yang semestinya untuk didahulukan mengingat indeks persepsi korupsi Indonesia salah satu yang terburuk. Dari 180 negara, Indonesia merupakan peringkat 110 negara paling korup di dunia pada 2022," pungkas dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Dicopot
Pilihan
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
CELIOS Minta MUI Fatwakan Gaji Menteri Rangkap Jabatan: Halal, Haram, atau Syubhat?
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
Terkini
-
Lampung Jadi Pusat Energi Bersih? Siap-Siap Gelombang Investasi & Lapangan Kerja Baru
-
Dirut Baru Siap Bawa Smesco ke Masa Kejayaan
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Di Tengah Badai Global, Pasar Obligasi Pemerintah dan Korporasi Masih jadi Buruan
-
Telkomsel, Nuon, dan Bango Kolaborasi Hadirkan Akses Microsoft PC Game Pass dengan Harga Seru
-
Sosok Sara Ferrer Olivella: Resmi Jabat Kepala Perwakilan UNDP Indonesia
-
Wamen BUMN: Nilai Ekonomi Digital RI Capai 109 Miliar Dolar AS, Tapi Banyak Ancaman
-
Netmonk dari PT Telkom Indonesia Berikan Layanan Monitoring Jaringan Mandiri
-
Tantangan Berat Tak Goyahkan PGAS: Catat Laba Bersih Rp2,3 Triliun di Tengah Gejolak Global
-
Menkeu Purbaya Minta Kepala BGN Jelaskan ke Publik soal Rendahnya Serapan Anggaran MBG