Suara.com - Para pelaku industri petrokimia yang tergabung dalam Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengeluhkan membanjirnya produk impor khususnya dari China yang semakin sulit dibendung setelah pemerintah merelaksasi kebijakan importasi melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.
Inaplas meminta aturan impor kembali diperketat melalui pemberlakuan kembali Permendag 36/2023. Dengan kembali menerapkan regulasi Permendag 36/2023, serta pemberlakuan hambatan perdagangan berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) menjadi harapan bagi industri petrokimia hulu untuk kembali mendorong peningkatan utilitas dari sektor petrokimia hulu yang saat ini sudah di bawah 80 persen.
Bahkan hambatan tersebut berdampak pada berhentinya operasional pabrik dari anggota Inaplas.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan, sektor petrokimia hulu ini sangat signifikan kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia.
Jika dilihat dari data PDB, industri ini memberikan kontribusi kedua terbesar yakni 2 persen setelah industri Mamin sebesar 6,7-7%.
Kedua industri ini saling berkaitan karena industri Mamin bergantung juga pada industri petrokimia hulu dalam hal untuk packaging. Kalau kita total, sumbangsih keduanya bisa mencapai 9-10% terhadap PDB nasional.
“Sebagai salah satu industri strategis nasional, petrokima hulu merupakan salah satu industri kunci yang memiliki efek terhadap sektor-sektor industri lain seperti mamin, otomotif, tekstil dan lainnya. Pengembangan industri petrokimia hulu menjadi salah satu hal penting mengingat kontribusinya terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja yang besar. Nah ketika utilitas industri petrokimia hulu sudah di bawah 80% ini dapat menjadi ancaman karena penyerapan tenaga kerja juga akan berkurang,” tambah Nailul Huda Nailul Huda ditulis Jumat (9/8/2024).
Banyak yang menilai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 menimbulkan masalah. Jika dilihat dari beberapa pasal, ada beberapa barang yang larangan impornya dihilangkan. Produk impor tersebut semakin sulit dibendung setelah pemerintah merelaksasi kebijakan importasi melalui pemberlakuan aturan tersebut.
Jika peredaran bahan baku dan barang jadi plastik impor terus berlanjut, bukan tidak mungkin pabrik-pabrik produksi plastik lokal akan banyak yang tutup. Hal ini tentu merugikan industri-industri lain yang banyak memanfaatkan produk plastik, seperti makanan-minuman, peralatan rumah tangga, otomotif, dan lainnya. Masalah banjir produk impor China tersebut bisa teratasi jika pemerintah segera memperbaiki peraturan importasi yang ada.
Baca Juga: Ekonom Duga Skandal Demurrage Impor Beras Rp 294 Miliar Skema Manipulasi Berbau Korupsi
“Permendag 8 ini perlu direview ulang dengan berbagi pertimbangan bahwa ini bisa mendatangkan dampak yang negatif. Perlu dibuat regulasi yang memang mendengarkan apa yang disampaikan pelaku industri, bukan cuma industri hilir tapi juga industri hulu jadi berkesinambungan untuk membuat satu aturan yang prudent bagi industri agar tercipta iklim investasi dan industri yang baik dan optimal bagi industri nasional,” ujar Nailul Huda.
Sebelumnya, Ekonom Universitas Sebelas Maret (UNS) Ernoiz Antriyandarti menyampaikan instrumen kebijakan pengetatan impor diperlukan untuk melindungi industri dalam negeri, terutama jika industri tersebut belum berdaya saing diliberalisasi perdagangan.
Menurut dia, pengetatan impor bisa menjadi peluang mengembangkan daya saing industri petrokimia, sehingga Indonesia menjadi pasar bagi produsen petrokimia domestik. Hal ini sejalan dengan rencana strategis pemerintah yang juga menjadikan industri petrokimia sebagai salah satu dari sektor industri yang mendapat perhatian khusus.
"Dengan dikembalikannya pengetatan impor petrokimia, diharapkan impor petrokimia turun signifikan. Selanjutnya menjadi pemacu industri petrokimia dalam negeri untuk berinovasi dan mengembangkan teknologi agar produksinya dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga, ketergantungan impor petrokimia turun, produksi dalam negeri berkembang, daya saing sektor petrokimia meningkat dan neraca perdagangan sektor petrokimia tidak lagi defisit," katanya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Pilihan Baru BBM Ramah Lingkungan, UltraDex Setara Standar Euro 5
-
Pelanggan Pertamina Kabur ke SPBU Swasta, Kementerian ESDM Masih Hitung Kuota Impor BBM
-
Kementerian ESDM Larang SPBU Swasta Stop Impor Solar di 2026
-
59 Persen Calon Jamaah Haji Telah Melunasi BIPIH Melalui BSI
-
Daftar Lengkap Perusahaan Aset Kripto dan Digital yang Dapat Izin OJK
-
CIMB Niaga Syariah Hadirkan 3 Produk Baru Dorong Korporasi
-
Negara Hadir Lewat Koperasi: SPBUN Nelayan Tukak Sadai Resmi Dibangun
-
Kemenkop dan LPDB Koperasi Perkuat 300 Talenta PMO Kopdes Merah Putih
-
Kantor Cabang Bank QNB Berguguran, OJK Ungkap Kondisi Karyawan yang Kena PHK
-
Sepekan, Aliran Modal Asing ke Indonesia Masuk Tembus Rp240 Miliar