Suara.com - Ahli yang menghitung kerugian negara akibat kerusakan lingkungan dari kasus korupsi timah, Bambang Hero Saharjo dilaporkan ke Polda Bangka Belitung (Babel). Status Bambang Hero yang bukan ahli keuangan negara dipandang tak cukup kompeten untuk menghitung kerugian.
Bambang dinilai tak seharusnya ditunjuk oleh penyidik bila ingin dihadirkan sebagai saksi ahli. Pada pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 tahun 2014, disebutkan bahwa ahli harusnya ditunjuk oleh pejabat eselon I yang tugas dan fungsinya bertanggung jawab di bidang penaatan hukum lingkungan Instansi Lingkungan Hidup Pusat atau pejabat eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah.
Apalagi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad), Romli Atmasasmita dalam kesaksiannya pada salah satu sidang terkait perkara timah ini menilai, penghitungan kerugian negara seharusnya hanya dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ini bertentangan dengan klaim Bambang Hero yang menyebut dirinya punya kompetensi untuk melakukan penghitungan kerugian.
Selain itu, ini bukan kali pertama Bambang Hero diperkarakan karena hasil kajiannya. Jauh sebelum warga Bangka Belitung melakukan unjuk rasa dan gugatan terhadap Bambang Hero, sudah banyak pihak yang meragukan akurasi kajian kerugian negara Rp 300 triliun dari kasus timah ini.
Metode penghitungan Guru Besar IPB itu dianggap tidak jelas. Hasil hitungan Bambang Hero itu langsung diadopsi oleh BPKP tanpa dilakukan pengecekan atau audit perhitungan kerugian keuangan kerugian negara. Hal ini terungkap dalam persidangan ahli BPKP Suaedi yang menyatakan tidak mengetahui sama sekali dasar perhitungan Rp 271 triliun karena hal tersebut merupakan perhitungan Bambang Hero dan BPKP hanya mengadopsi.
Belum lagi penggunaan citra satelit yang dipakai Bambang Hero sebagai dasar menghitung kerugian negara dianggap kurang akurat karena menggunakan resolusi menengah tidak berbayar.
Kuasa hukum terdakwa Mochtar Riza Pahlevi, Junaedi Saibih mengatakan, memang sejak awal ada dugaan hasil kajian Bambang Hero sudah keliru.
"Ada sejumlah dugaan kesalahan yang secara prosedural dan akademik menjadi kesalahan kejaksaan agung/JPUdan Prof. Bambang Hero Saharjo dalam menghitung kerugian keuangan negara," tegas dia.
Pandangan tersebut didasarkan pada tak adanya keterlibatan Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) dalam proses penghitungan kerugian negara dan Laporan Hasil Analisa yang selalu disebutkan tidak diungkap dalam persidangan serta tidak pernah dilampirkan sebagai barang bukti, padahal dalam perkara Tindak Pidana Korupsi bukti kerugian keuangan negara adalah bukti utama.
Baca Juga: Polemik Penghitung Kerugian Negara Rp271 T Dipolisikan, Mantan Menteri Ikutan Bersuara
Selain itu Bambang Hero juga gagal menyajikan rincian perhitungan negara dalam kajiannya sendiri pada saat dihadirkan sebagai saksi persidangan. Sehingga baik BPKP maupun Bambang Hero tidak pernah memberikan penjelasan yang komprehensif terkait perhitungan kerugian lingkungan 271 Triliun.
Bahkan, lanjut Junaedi, hasil putusan pengadilan pada sidang sebelumnya juga tidak merinci dan menjelaskan dasar pertimbangan nilai kerugian negara Rp 300 triliun. Sehingga memperkuat dugaan bahwa hasil kajian perhitungan negara tersebut sejak awal tak bisa dipertanggungjawabkan.
”Putusan pengadilan juga tidak memberikan penilaian bahwa kerugian angka Rp 300 triliun merupakan actual lost (kerugian yang nyata)" jelas dia lagi.
Pasal 6 Ayat (1) dan (2) Permen LH 7 Tahun 2014 menyatakan dengan tegas bahwa hitungan berdasarkan permen ini masih dapat mengalami perubahan. Redaksional ini menunjukan bahwa hasil hitungan berdasarkan permen LH 7 Tahun 2014 bertentangan dengan prinsip kerugian keuangan negara yang harus nyata dan pasti.
Redaksional nilai hitungan kerusakan lingkungan yang “dapat mengalami perubahan dalam pasal 6 juga disebutkan merupakan angka hitungan untuk negosiasi sengketa lingkungan hidup dan relevansinya dengan tugas pemerintah atau pemerintah daerah yang akan melakukan tugas pemulihan kondisi lingkungan, seperti tertulis pada lampiran II Permen LH No 7 tahun 2014.
Tanggung jawab pemulihannya pun tak ditumpukan pada badan usaha melainkan pada pemerintah atau pemerintah daerah.
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Menkeu Purbaya Mau Hilangkan Pihak Asing di Coretax, Pilih Hacker Indonesia
-
BPJS Watch Ungkap Dugaan Anggota Partai Diloloskan di Seleksi Calon Direksi dan Dewas BPJS
-
Proses Bermasalah, BPJS Watch Duga Ada Intervensi DPR di Seleksi Dewas dan Direksi BPJS 20262031
-
Belanja Mainan Hemat! Diskon 90% di Kidz Station Kraziest Sale, Bayar Pakai BRI Makin Untung
-
Literasi Keuangan dengan Cara Baru Biar Makin Melek Finansial
-
Bahlil: Hilirisasi Harus Berkeadilan, Daerah Wajib Dapat Porsi Ekonomi Besar
-
Menkeu Purbaya Akhirnya Ungkap Biang Kerok Masalah Coretax, Janji Selesai Awal 2026
-
Setahun Berjalan, Hilirisasi Kementerian ESDM Dorong Terciptanya 276 Ribu Lapangan Kerja Baru
-
Bahlil Dorong Hilirisasi Berkeadilan: Daerah Harus Nikmati Manfaat Ekonomi Lebih Besar
-
ESDM Perkuat Program PLTSa, Biogas, dan Biomassa Demi Wujudkan Transisi Energi Hijau untuk Rakyat