Suara.com - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) baru-baru ini menggelar diskusi dan pameran foto bertajuk "Hentikan Harita! Menagih Komitmen Sektor Perbankan untuk Mencegah Perluasan Daya Rusak".
Acara ini bertujuan untuk mengungkap dampak destruktif dari kegiatan bisnis Harita Group, sebuah konglomerasi yang beroperasi di sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, serta mendesak lembaga perbankan untuk menghentikan pendanaan kepada perusahaan tersebut.
Diskusi ini menghadirkan narasumber dari berbagai organisasi, termasuk Market Forces dan Sawit Watch, yang memberikan paparan mendalam mengenai kerusakan lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh aktivitas Harita Group.
Koordinator JATAM, Melky Nahar, menjelaskan secara rinci dampak negatif dari operasi anak perusahaan Harita Group di sektor pertambangan. Sementara itu, peneliti Sawit Watch, Bony, mengungkapkan berbagai bentuk kerusakan dan kriminalisasi yang menyertai pertumbuhan bisnis kelapa sawit Harita Group.
Binbin Mariana, Asia Energy Finance Campaigner Market Forces, menyoroti penggunaan batu bara yang terus meningkat untuk mendukung smelter nikel di Pulau Obi, Maluku Utara. Menurutnya, praktik ini bertentangan dengan komitmen lembaga perbankan terhadap pembiayaan berkelanjutan.
"Kami mendesak bank-bank untuk menghentikan pendanaan kepada Harita Group," kata Binbin dalam diskusi itu dikutip Suara.com Selasa (25/3/2025).
Acara ini juga dihadiri oleh warga Wawonii, Amlia dan Hastoma, yang menyampaikan keresahan mereka atas kehadiran anak perusahaan Harita Group di pulau mereka. Mereka melaporkan bahwa sumber air telah rusak, memaksa warga untuk membeli air bersih, dan pendapatan mereka menurun drastis. Selain itu, mereka juga mengeluhkan intimidasi dan kriminalisasi yang terus berlanjut.
Sebagai bagian dari rangkaian acara, warga Wawonii dan Kawasi mengirimkan surat langsung kepada perwakilan tiga bank di Indonesia, yaitu Bank OCBC, Bank UOB, dan Bank Mandiri, yang telah memberikan pembiayaan kepada Harita Group. Mereka mendesak bank-bank tersebut untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka dan menghentikan dukungan finansial kepada perusahaan yang merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Harita Group, sebagai salah satu perusahaan raksasa di Indonesia, memiliki portofolio bisnis yang luas, meliputi pertambangan nikel, batu bara, bauksit, perkebunan kelapa sawit, dan industri perkayuan. Kekayaan pemiliknya yang mencapai US$ 1,1 miliar pada tahun 2022 menempatkannya sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia.
Baca Juga: Laba Meroket, RUPST Bank Mandiri Setujui Pembagian Dividen Rp43,5 Triliun
Namun, kekayaan ini diperoleh dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat. Operasi bisnis Harita Group identik dengan kerusakan bentang alam dan ekologi, kehancuran ekonomi warga, hilangnya sumber pangan dan air bersih, serta konflik sosial. Selain itu, perusahaan ini juga dituduh melakukan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menentang aktivitas mereka.
Meskipun demikian, 12 lembaga perbankan, baik nasional maupun internasional, terus memberikan pembiayaan kepada Harita Group. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017.
Aktivitas ekstraktif Harita Group telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah di berbagai wilayah. Pertambangan nikel di Pulau Wawonii dan Pulau Obi, tambang bauksit di Kalimantan Barat, tambang batu bara di Kalimantan Timur, dan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah telah mengubah bentang alam secara signifikan. Deforestasi yang terjadi mengancam keanekaragaman hayati dan menyebabkan bencana ekologis, seperti banjir dan pencemaran air.
Pencemaran laut akibat operasi pertambangan nikel Harita Group telah merusak sumber mata pencaharian nelayan di Kawasi, Pulau Obi. Limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan mencemari sungai dan laut dengan sedimen dan logam berat. Sumber air bersih warga juga tercemar, bahkan mengandung senyawa karsinogenik seperti kromium heksavalen.
Operasi smelter nikel Harita Group di Pulau Obi juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Pada tahun 2023, emisi gas rumah kaca dari smelter tersebut mencapai 7,98 MtCO2e, setara dengan 1% dari total emisi gas rumah kaca Indonesia. Emisi ini juga setara dengan emisi dari 1,8 juta kendaraan roda empat.
Di Pulau Wawonii, operasi PT GKP telah mencemari sumber air warga, seperti Sungai Tambo Siu-Siu dan Mata Air Banda. Deforestasi akibat pertambangan juga mengancam kelestarian hutan pulau tersebut, yang berfungsi sebagai penyedia pangan, air, dan pengatur iklim mikro.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Lupakan Louis van Gaal, Akira Nishino Calon Kuat Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Mengintip Rekam Jejak Akira Nishino, Calon Kuat Pelatih Timnas Indonesia
- 7 Mobil Keluarga 7 Seater Seharga Kawasaki Ninja yang Irit dan Nyaman
- Link Download Logo Hari Santri 2025 Beserta Makna dan Tema
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 21 Oktober 2025: Banjir 2.000 Gems, Pemain 110-113, dan Rank Up
Pilihan
-
5 Laga Klasik Real Madrid vs Juventus di Liga Champions: Salto Abadi Ronaldo
-
Prabowo Isyaratkan Maung MV3 Kurang Nyaman untuk Mobil Kepresidenan, Akui Kangen Naik Alphard
-
Suara.com Raih Penghargaan Media Brand Awards 2025 dari SPS
-
Uang Bansos Dipakai untuk Judi Online, Sengaja atau Penyalahgunaan NIK?
-
Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Soal Dana APBD Rp4,17 Triliun Parkir di Bank
Terkini
-
Pasar Seni Bermain 2025: Ruang Kolaborasi Seni, Game Lokal, dan Inovasi Industri Kreatif
-
TEI 2025: Punya 7 Sertifikasi, Permen Jahe Produksi Binaan LPEI Ini Berjaya di Amerika
-
Prabowo Bentuk Satgas Percepatan Program Strategis Pemerintah, Diisi Airlangga hingga Purbaya
-
BRI Salurkan Dana Rp55 Triliun untuk UMKM, Perkuat Likuiditas dan Ekonomi Nasional
-
Ribut-ribut Dana Pemda Ngendon di Bank, Mantu Jokowi Hingga KDM Tunjuk Menkeu Purbaya
-
Usai Dedi Mulyadi, Giliran Bobby Nasution Disentil Menkeu Purbaya
-
BPJS Ketenagakerjaan Lindungi 500 Mahasiswa UIN Gus Dur Pekalongan Lewat Program Jaminan Sosial
-
Menkeu Purbaya Pastikan Iuran BPJS Kesehatan Tidak Naik Tahun Depan: Ekonomi Belum Pulih
-
Kacang Mete Indonesia Sukses Jadi Camilan Penerbangan Internasional
-
Target Inflasi 2,5 Persen, Ini Kata Gubernur Bank Indonesia