Entertainment / Gosip
Kamis, 30 Oktober 2025 | 13:19 WIB
Coki Pardede ditemui di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (5/7/2023). [Tiara Rosana/Suara.com]
Baca 10 detik
  • Perubahan kesadaran atau pencerahan di masyarakat tidak bisa dipaksakan instan.

  • Tugas kita adalah menanam benih kesadaran dengan menyebarkan informasi kredibel.

  • Hindari menghakimi, lebih baik membuka ruang dialog dengan kepala terbuka.

Suara.com - Komika Coki Pardede memberikan jawaban tak terduga saat ditanya mengenai fenomena kemerosotan moral di tengah masyarakat.

Hal tersebut diungkapkannya dalam sebuah sesi tanya jawab yang ditayangkan di kanal YouTube Malaka, Rabu, 29 Oktober 2025.

Seorang penanya melontarkan keresahannya tentang berbagai fenomena sosial yang terjadi belakangan ini.

Ia mencontohkan maraknya praktik feodalisme di pesantren hingga kasus kekerasan oleh guru, lalu mempertanyakan apakah Indonesia Emas 2045 dapat terwujud di tengah kondisi tersebut.

Setelah sempat berkelakar, komika bernama asli Reza Pardede itu memberikan pandangan filosofisnya mengenai cara menyikapi masalah sosial.

Menurutnya, perubahan kesadaran atau 'pencerahan' di tengah masyarakat tidak bisa dipaksakan untuk terjadi secara instan.

"Pencerahan itu datangnya bisa kapan pun, di mana pun, lewat siapa pun," ujar Coki Pardede.

Lelaki berusia 37 tahun itu menekankan bahwa tugas generasi muda bukanlah memastikan perubahan itu terjadi seketika, melainkan menanam benih kesadaran.

"Tugas kita bukan memastikan pencerahannya datang saat ini juga, teman-teman," tegasnya.

Baca Juga: Jihad Ala Santri Zaman Now: Bukan Perang, Tapi Jaga Alam!

Coki Pardede menyarankan agar masyarakat terus menyebarkan informasi dan berita-berita kredibel mengenai isu-isu tersebut.

Ia percaya bahwa dengan cara itu, kesadaran kolektif akan tumbuh secara alami seiring berjalannya waktu.

"Biarkan itu menjadi bibit-bibit, di mana nanti pencerahan akan datang dengan sendirinya," jelas Coki.

Lebih lanjut, ia juga memperingatkan agar tidak bersikap seperti hakim moral yang langsung menghakimi orang lain.

"Merasa benar bukan berarti kita jadi berhak ngapain aja, teman-teman," kata Coki.

Menurutnya, pendekatan yang lebih baik adalah membuka ruang dialog dengan kepala terbuka untuk memahami sudut pandang yang berbeda, alih-alih langsung melabeli dengan negatif.

Load More