Suara.com - Dijuluki sebagai " super malaria", sebuah bentuk malaria yang tahan terhadap pengobatan standar telah menyebar ke Vietnam untuk pertama kalinya.
Wabah itu awalnya terdeteksi di Kamboja pada tahun 2007, dan para ahli menyerukan tindakan sebelum mencapai daerah lain seperti India atau Afrika.
"(Super malaria) Ini menyebar seperti api ke Vietnam," kata Profesor Arjen Dondorp, kepala departemen malaria di unit penelitian obat-obatan tropis di Universitas Mahidol di Bangkok, kepada AFP.
Rekan penulis artikel yang diterbitkan di jurnal medis The Lancet Infectious Diseases pada hari Kamis menambahkan, "(Super malaria) Ini dimulai 10 tahun yang lalu di Kamboja barat, dan menyebar dengan sangat mudah. "
"Kamboja sudah berubah menjadi obat baru, kemungkinan akan bertahan satu atau dua tahun lagi. Vietnam harus berubah sekarang," sambungnya.
Setelah dideteksi di Kamboja barat pada tahun 2007, strain tersebut kemudian menyebar ke timur laut Thailand, Laos selatan dan Myanmar timur. Begitu ungkap sebuah studi sebelumnya oleh Dondorp dan rekannya.
"Ketakutannya adalah menyebar lebih jauh, ke India dan Afrika," ungkap Dondorp.
Pilihan garis depan standar dalam kombinasi dengan obat lain untuk mengobati malaria adalah artemisinin. Mutasi parasit yang ditemukan oleh tim Dondorp terutama memberikan perlawanan terhadap obat piperaquine.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya ada 212 juta kasus malaria pada tahun 2015 dan 429 ribu kematian. Penyakit ini disebabkan parasit yang ditularkan ke orang melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi.
Baca Juga: Pendidikan bagi Ibu, 'Vaksin Sosial' Lawan Malaria
Bagi spesialis, munculnya strain baru di Asia Tenggara ini mengkhawatirkan, meski jumlah kasusnya terbatas.
Dua gelombang malaria tahan terhadap pengobatan standar muncul pada tahun 1950-an dan 1960-an di Asia Tenggara, dan menyebar ke India dan Afrika, di mana mereka menyebabkan jutaan kematian.
Dondorp memimpin komite pengarah hibah malaria regional yang besar dari Global Fund, sebuah organisasi pembiayaan, di Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar dengan anggaran sebesar USD243 juta atau setara 203 juta euro selama tiga tahun ke depan.
Dia menganjurkan, pengobatan pada tahap awal penyakit ini, yang membutuhkan pemberantasan malaria pada komunitas di daerah yang paling terpencil sekalipun. (Asiaone)
Berita Terkait
Terpopuler
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 September: Klaim Pemain 108-112 dan Hujan Gems
- Thom Haye Akui Kesusahan Adaptasi di Persib Bandung, Kenapa?
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Saham DADA Terbang 2.000 Persen, Analis Beberkan Proyeksi Harga
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
Pilihan
-
Profil Agus Suparmanto: Ketum PPP versi Aklamasi, Punya Kekayaan Rp 1,65 Triliun
-
Harga Emas Pegadaian Naik Beruntun: Hari Ini 1 Gram Emas Nyaris Rp 2,3 Juta
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
Terkini
-
Infeksi Silang di Rumah Sakit? Linen Medis Antivirus Ini Jadi Solusi!
-
Golden Period Jadi Kunci, RS Ini Siapkan Layanan Cepat Tangani Stroke
-
Nada Tarina Pamer Bekas Jahitan Operasi, Kenapa Skoliosis Lebih Rentan pada Wanita?
-
Apa Itu Tylenol: Obat yang Diklaim Donald Trump Bisa Bikin Autis
-
Mengenal Osteosarcoma, Kanker Tulang Ganas yang Mengancam Nyawa Anak dan Remaja
-
Viral Guyonan Lelaki Manja saat Sakit, Dokter Saraf Bongkar Fakta Toleransi Nyeri
-
Bukan Cuma Pekerja, Ternyata Orang Tua juga Bisa Burnout karena Masalah Membesarkan Anak
-
Benarkah Diet Keto Berisiko untuk Kesehatan? Ini Jawaban Ahli
-
Tren Mengkhawatirkan! Mengapa Kasus Kanker pada Anak Muda Meningkat?
-
Gaya Hidup Higienis: Kebiasaan Kecil yang Berdampak Besar bagi Tubuh