Suara.com - Data per 29 Januari yang dihimpun Kementerian Kesehatan mencatat jumlah penderita DBD di 34 provinsi di awal tahun ini mencapai 13.683 orang, di mana 132 kasus di antaranya meninggal dunia. Angka tersebut mengalami peningkatan cukup drastis jika dibandingkan data Januari 2018, yakni hanya 6.167 kasus dengan 43 orang diantaranya meninggal dunia.
Disampaikan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi, tingginya kasus DBD di awal tahun ini tak lepas dari pengaruh musim penghujan yang terjadi belakangan ini. Ketika hujan, maka genangan air akan meluas dan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti, vektor pembawa virus Demam Berdarah Dengue.
"Genangan air, kelembapan, dan suhu membuat umur nyamuk menjadi lebih panjang dan jumlah telur yang menetas menjadi lebih banyak. Itu sebabnya kasus DBD tinggi di musim penghujan ini," ujar Nadia dalam temu media di Kemenkes, Rabu (30/1/2019).
Menurut Nadia, musim kemarau berkepanjangan yang terjadi di Indonesia pada 2018 lalu turut mengakibatkan peningkatan kasus DBD di awal 2019 ini.
"Curah hujan sangat pendek di 2018. Itu memengaruhi jumlah nyamuknya. Sekarang pola itu jadi tidak teratur," imbuh dia.
Meski terjadi peningkatan kasus, Nadia belum mau menyebutnya sebagai wabah. Pasalnya untuk menetapkan sebuah kasus penyakit sebagai wabah, ada beberapa kriteria yang ditetapkan, termasuk adanya peningkatan kasus dua kali lipat atau lebih dalam satu kurun waktu. Biasanya sebelum disebut sebagai wabah, beberapa daerah akan menetapkan status daerahnya sebagai KLB.
Sejauh ini baru beberapa daerah yang melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di wilayahnya, antara lain Kota Manado (Sulawesi Utara) dan 7 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu Sumba Timur, Sumba Barat, Manggarai Barat, Ngada, Timor Tengah Selatan, Ende, dan Manggarai Timur. Sedangkan beberapa wilayah lain mengalami peningkatan kasus namun belum melaporkan status kejadian luar biasa.
"Kita melihat bahwa hampir banyak daerah masih bisa mengatasi sendiri. Selama masih bisa dikendalikan dengan sumber daya yang ada dan pandangan Pemda setempat belum dinyatakan KLB, jadi tidak perlu. Karena kalau ditetapkan status KLB atau wabah ada konsekuensi dari perlunya mobilisasi sumber daya baik uang, tenaga, hingga travel warning," tandas Nadia.
Baca Juga: Titi Kamal Ingin Tambah Anak Lagi
Berita Terkait
Terpopuler
- Dana Operasional Gubernur Jabar Rp28,8 Miliar Jadi Sorotan
- Viral Video 7 Menit Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, Praktisi Hukum Minta Publik Berhati-hati
- Prabowo Dikabarkan Kirim Surat ke DPR untuk Ganti Kapolri Listyo Sigit
- Prabowo Incar Budi Gunawan Sejak Lama? Analis Ungkap Manuver Politik di Balik Reshuffle Kabinet
- Tutorial Bikin Foto di Lift Jadi Realistis Pakai Gemini AI yang Viral, Prompt Siap Pakai
Pilihan
-
Ketika Politik dan Ekonomi Turut Membakar Rivalitas Juventus vs Inter Milan
-
Adu Kekayaan Komjen Suyudi Ario Seto dan Komjen Dedi Prasetyo, 2 Calon Kapolri Baru Pilihan Prabowo
-
5 Transfer Pemain yang Tak Pernah Diduga Tapi Terjadi di Indonesia
-
Foto AI Tak Senonoh Punggawa Timnas Indonesia Bikin Gerah: Fans Kreatif Atau Pelecehan Digital?
-
Derby Manchester Dalam 3 Menit: Sejarah, Drama, dan Persaingan Abadi di Premier League
Terkini
-
Perempuan Wajib Tahu! 10.000 Langkah Sederhana Selamatkan Tulang dari Pengeroposan
-
Kemenkes Catat 57 Persen Orang Indonesia Sakit Gigi, Tapi Cuek! Ini Dampak Ngerinya Bagi Kesehatan
-
5 Rekomendasi Obat Cacing yang Aman untuk Anak dan Orang Dewasa, Bisa Dibeli di Apotek
-
Sering Diabaikan, Masalah Pembuluh Darah Otak Ternyata Bisa Dideteksi Dini dengan Teknologi DSA
-
Efikasi 100 Persen, Vaksin Kanker Rusia Apakah Aman?
-
Tahapan Skrining BPJS Kesehatan Via Aplikasi dan Online
-
Rusia Luncurkan Vaksin EnteroMix: Mungkinkah Jadi Era Baru Pengobatan Kanker?
-
Skrining BPJS Kesehatan: Panduan Lengkap Deteksi Dini Penyakit di Tahun 2025
-
Surfing Jadi Jalan Perempuan Temukan Keberanian dan Healing di Laut
-
Bayi Rewel Bikin Stres? Rahasia Tidur Nyenyak dengan Aromaterapi Lavender dan Chamomile!