Suara.com - Fenomena Caleg Gagal Alami Gangguan Jiwa, Ini Komentar Dokter Jiwa
Usai perhelatan Pemilu 2019, kabar soal calon anggota legislatif (caleg) yang mengalami gangguan jiwa pun bermunculan di media sosial.
Hal ini menjadi perhatian khusus bagi dr. Andri, SpKJ, FAPM, psikiater dari Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera. Dalam keterangannya kepada wartawan, dr Andri mengaku mendapat banyak pertanyaan terkait kemungkinan seseorang mengalami gangguan jiwa setelah gagal jadi caleg.
"Selama menjelang #pilpres2019 dan #pilleg2019 yang dilangsungkan serentak tahun ini saya banyak mendapat pertanyaan baik dari kawan,sejawat dokter maupun wartawan terkait kemungkinan caleg gagal akan alami gangguan jiwa," ujarnya.
Menurut dr. Andri, ini sejatinya bukan hal aneh. Dalam kondisi gagal mencapai tujuan dan harapan yang diimpikan, menjadi caleg contohnya, seseorang bisa saja mengalami gangguan jiwa.
"Jika memang benar ada caleg gagal yang mengalami gejala gangguan jiwa maka itu adalah hal yang wajar, suatu reaksi mekanisme pertahanan psikologis dari seorang manusia yang mengalami kegagalan," urainya.
Gejala gangguan jiwa ini bisa muncul dengan beragam. Gelisah, putus asa, sedih berlarut, hingga marah-marah merupakan gejala umum yang bisa muncul pada pasien gangguan jiwa.
Dalam tahap lanjut, kondisi psikotik yang ditandai dengan halusinasi dan delusi juga bisa dialami oleh pasien gangguan jiwa.
"Gejala-gejala ini jika hanya berlangsung sementara tidak bisa disebut sebagai gangguan jiwa yang akan menetap. Ini adalah suatu reaksi stres akut atau suatu gangguan penyesuaian," jelasnya.
Baca Juga: Kesal Disindir, Jemaah Masjid Pulangkan Karpet Pemberian Caleg Gagal
Pasien gangguan jiwa tidak menetap tak butuh perawatan dan pengobatan berkelanjutan. Dalam waktu kurang lebih dua minggu, dr Andri menyebut pasien gangguan jiwa tidak menetap ini bisa kembali ke dirinya semula.
Namun, jika gejala gangguan jiwa tersebut tak hilang dalam waktu dua minggu, patut dicurigai gangguan jiwa yang muncul menetap dan butuh perawatan lebih lanjut.
"Tentunya hal ini juga berkaitan dengan latar belakang psikologis dan bawaan genetik orang tersebut. Bisa saja kondisi ini mengarah ke kondisi gangguan jiwa lebih lanjut jika tidak membaik dalam waktu dua minggu dan akhirnya membuat kualitas hidup orang tersebut menurun," tutupnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Main di Luar Lebih Asyik, Taman Bermain Baru Jadi Tempat Favorit Anak dan Keluarga
-
Dari Donor Kadaver hingga Teknologi Robotik, Masa Depan Transplantasi Ginjal di Indonesia
-
Banyak Studi Sebut Paparan BPA Bisa Timbulkan Berbagai Penyakit, Ini Buktinya
-
Rahasia Hidup Sehat di Era Digital: Intip Inovasi Medis yang Bikin Umur Makin Panjang
-
Pentingnya Cek Gula Darah Mandiri: Ini Merek Terbaik yang Banyak Dipilih!
-
Prestasi Internasional Siloam Hospitals: Masuk Peringkat Perusahaan Paling Tepercaya Dunia 2025
-
Anak Bentol Setelah Makan Telur? Awas Alergi! Kenali Gejala dan Perbedaan Alergi Makanan
-
Alergi Makanan Anak: Kapan Harus Khawatir? Panduan Lengkap dari Dokter
-
Pijat Bukan Sekadar Relaksasi: Cara Alami Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
-
3.289 Kasus Baru Setiap Tahun: Mengenal Multiple Myeloma Lebih Dekat Sebelum Terlambat