Suara.com - Perkawinan Anak di Indonesia, Catatan Hitam di Hari Anak Perempuan Sedunia 2019
Hari Anak Perempuan Internasional yang disebut juga Hari Anak Perempuan Sedunia diperingati pada 11 Oktober setiap tahunnya.
Peringatan ini dilakukan untuk mengampanyekan hak-hak anak perempuan, termasuk pelanggaran hak anak untuk tumbuh dan berkembang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut, perkawinan anak di usia dini merupakan salah satu pelanggaran hak anak yang masih terjadi secara masif, namun kerap diabaikan.
Secara global, data UNICEF menyebut ada 12 juta pernikahan anak terjadi tiap tahunnya. Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, ada 95 pengaduan kasus perkawinan anak ke KPAI dalam 8 tahun terakhir.
Perkawinan anak sendiri didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak memasuki masa pubertas, dinikahkan dengan orang lain yang lebih tua, atau dengan anak di bawah umur lainnya.
Jasra menyebut faktor ekonomi masih menjadi penyebab utama terjadinya perkawinan anak.
Hal ini sejalan dengan analisis yang dilakukan oleh International Center for Research on Women (ICRW), yang menyebut anak perempuan yang berasal dari keluarga miskin, berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam perkawinan anak.
Baca Juga: KPAI Gandeng Komunitas Pemuda di 21 Provinsi Kampanye Cegah Perkawinan Anak
"Kenapa orangtua mendorong anak perempuan menikah? Karena agar beban keluarga berkurang," kata Jasra saat ditemui Suara.com di kawasan Depok, Rabu, (9/10/2019).
Di banyak tempat, faktor sosial budaya juga berperan dalam melanggengkan praktik perkawinan anak.
Masyarakat Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan misalnya, memiliki istilah uang panai atau uang mahar.
Jasra mengatakan, praktik uang panai telah mendorong banyak orangtua yang berasal dari keluarga rentan untuk menikahkan anak gadisnya yang masih sangat belia kepada laki-laki yang jauh lebih dewasa.
"Faktor budaya masih ada di beberapa daerah, menikahkan usia anak dianggap suatu kebanggaan," tambahnya.
Selain faktor budaya, kehamilan di luar nikah juga menjadi penyumbang utama kasus-kasus perkawinan anak.
Kehamilan yang terjadi di luar nikah membuat orangtua merasa malu, dan memilih menikahkan anak dengan lelaki yang dianggap bertanggung jawab.
Ketika disinggung mengenai jumlah laporan yang sangat sedikit mengenai perkawinan anak ke KPAI, Jasra mengaku banyak praktik perkawinan anak yang tidak tercatat negara.
"Banyak yang menikah siri, mereka menikah secara sah tapi di negara tidak tercatat. Yang tidak tercatat ini yang paling banyak," tambahnya.
Orangtua, Perisai Pertama Pencegahan Perkawinan Anak
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, di mana 1 dari 4 atau 23 persen anak perempuan di Indonesia menikah saat masih anak-anak.
Setiap tahun sekitar 340 ribu anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17 persen.
Jika dilihat dari sebaran wilayah, maka terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin mengatakan, perkawinan anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghambat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
“Perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun (pemenuhan hak anak atas pendidikan), gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan (kesehatan dan angka kematian ibu melahirkan), serta munculnya pekerja anak dan upah rendah (menurunnya ekonomi)," ujar Lenny, beberapa waktu lalu.
Orangtua memiliki peran penting dalam maraknya praktik perkawinan anak di Indonesia. Bahkan menurut Jasra, beberapa kasus perkawinan anak terjadi atas dasar paksaan orangtua kepada anaknya.
"Salah satu tugas keluarga adalah mencegah perkawinan anak. Sayangnya dalam beberapa kasus, orangtua malah mendorong perkawinan anak," tambah Jasra.
Dipaparkan Jasra Putra, tidak ada aturan pidana bagi orangtua yang menikahkan anaknya. Hanya saja, Konvensi Hak Anak (KHA) memandatkan pidana orangtua sebagai jalan paling akhir.
Hukuman pidana, kata Jasra, hanya bisa dilakukan bila pemerintah telah becus melakukan sosialiasi mengenai dampak negatif perkawinan anak.
"Soal lain kalo ini dipidanakan, negara belum melakukan parenting skill kepada masyarakat. Kalau sudah paham aturan dan tetap melakukan itu, baru ada pidana."
Ingin tahu apa dampak perkawinan anak kesehatan jasmani dan rohaninya? Simak di halaman selanjutnya ya!
Berita Terkait
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 7 Rekomendasi Sunscreen Mengandung Alpha Arbutin untuk Hilangkan Flek Hitam di Usia 40 Tahun
- 7 Pilihan Parfum HMNS Terbaik yang Wanginya Meninggalkan Jejak dan Awet
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
Dari AMSI Awards 2025: Suara.com Raih Kategori Inovasi Strategi Pertumbuhan Media Sosial
-
3 Rekomendasi HP Xiaomi 1 Jutaan Chipset Gahar dan RAM Besar, Lancar untuk Multitasking Harian
-
Tukin Anak Buah Bahlil Naik 100 Persen, Menkeu Purbaya: Saya Nggak Tahu!
-
Menkeu Purbaya Mau Tangkap Pelaku Bisnis Thrifting
Terkini
-
K-Pilates Hadir di Jakarta: Saat Kebugaran, Kecantikan, dan Wellness Jadi Satu
-
Plak, Gusi Berdarah, Gigi Berlubang: Masalah Sehari-Hari yang Jadi Ancaman Nasional?
-
Mudah dan Ampuh, 8 Cara Mengobati Sariawan yang Bisa Dicoba
-
5 Inovasi Gym Modern: Tak Lagi Hanya Soal Bentuk Tubuh dan Otot, Tapi Juga Mental!
-
Dua Pelari Muda dari Komunitas Sukses Naik Podium di Jakarta Running Festival 2025
-
Seberapa Kuat Daya Tahan Tubuh Manusia? Ini Kata Studi Terbaru
-
Langkah Kecil, Dampak Besar: Edukasi SADARI Agar Perempuan Lebih Sadar Deteksi Dini Kanker Payudara
-
Ginjal Rusak Tanpa Gejala? Inovasi Baru Ini Bantu Deteksi Dini dengan Akurat!
-
Apotek Bisa Jadi Garda Depan Edukasi dan Deteksi Dini Stunting, Begini Perannya
-
Tak Sekadar Air Putih, Ini Alasan Artesian Water Jadi Tren Kesehatan Baru