Suara.com - Pasien Covid-19 yang mengalami gagal jantung atau serangan jantung sangat sulit diselamatkan. Hal ini dinyatakan dalam sebuah studi dari Rumah Sakit William Beaumont di Royal Oak, Michigan, Amerika Serikat.
Melansir dari Medicalxpress, setidaknya dari 54 pasien Covid-19 di rumah sakit Michigan yang menderita serangan jantung, tidak ada satupun di antara mereka yang selamat. Bahkan ketika 29 pasien telah mendapatkan resusitasi jantung paru (CPR).
Penelitian ini telah dipublikasikan secara online pada 28 September di JAMA Internal Medicine.
Meskipun begitu, Dr. J. Randall Curtis, seorang profesor pulmonologi dari University of Washington di Seattle menyatakan bahwa bukan hanya Covid-19 yang membuat serangan jantung sangat berbahaya bagi pasien. Menurutnya berbagai penyakit pernapasan kronis juga akan menimbulkan efek yang sama.
"Saya rasa kita tidak bisa mengatakan serangan jantung selalu berakibat fatal jika Anda mengidap Covid-19," kata Dr. J. Randall Curtis.
"Hal semacam ini biasa terjadi pada penyakit paru parah lainnya, dengan masalah yang bukan berasal dari jantung tetapi dari paru-paru," imbuahnya.
Meurut Curtis, sebelumnya dokter telah menduga bahwa menyelamatkan pasien Covid-19 yang jantungnya berhenti akan sulit.
"Dari pasien yang mengidap Covid-19 dan berkembang menjadi serangan jantung, sebagian besar serangan jantung mereka terjadi karena penyakit paru-paru parah sehingga mereka tidak mendapatkan cukup oksigen," jelas Curtis.
Curtis mencatat bahwa dari 54 pasien, 52 di antaranya memiliki jenis serangan jantung yang disebut aktivitas listrik tanpa denyut atau PEA. Dalam PEA, jantung menghasilkan listrik yang cukup untuk membuat detak jantung tetapi otot jantung tidak akan berkontraksi.
Baca Juga: Kaltim Tambah 114 Pasien Covid-19 Lagi
"PEA memiliki harapan hidup yang jauh lebih buruk daripada serangan jantung yang disebabkan oleh disfungsi jantung itu sendiri," kata Curtis
Para peneliti studi ini, Dr. Shrinjaya Thapa dan rekannya menyarankan agar dokter perlu berpikir dua kali sebelum melakukan CPR yang berkepanjangan pada pasien. Hal ini disebabkan karena proses resusitasi menghasilkan aerosol yang dapat menempatkan petugas kesehatan berrisiko lebih tinggi tertular virus.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- 7 Sepatu Adidas Diskon hingga 60% di Sneakers Dept, Cocok Buat Tahun Baru
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Kencang bak Ninja, Harga Rasa Vario: Segini Harga dan Konsumsi BBM Yamaha MT-25 Bekas
Pilihan
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
-
Aksi Adik Kandung Prabowo yang Makin Mencengkeram Bisnis Telekomunikasi
-
Sesaat Lagi! Ini Link Live Streaming Final Futsal ASEAN 2025 Indonesia vs Thailand
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
Terkini
-
Asam Urat Bisa Datang Diam-Diam, Ini Manfaat Susu Kambing Etawa untuk Pencegahan
-
Kesehatan Gigi Keluarga, Investasi Kecil dengan Dampak Besar
-
Fakta Super Flu, Dipicu Virus Influenza A H3N2 'Meledak' Jangkit Jutaan Orang
-
Gigi Goyang Saat Dewasa? Waspada! Ini Bukan Sekadar Tanda Biasa, Tapi Peringatan Serius dari Tubuh
-
Bali Menguat sebagai Pusat Wellness Asia, Standar Global Kesehatan Kian Jadi Kebutuhan
-
Susu Creamy Ala Hokkaido Tanpa Drama Perut: Solusi Nikmat buat yang Intoleransi Laktosa
-
Tak Melambat di Usia Lanjut, Rahasia The Siu Siu yang Tetap Aktif dan Bergerak
-
Rahasia Sendi Kuat di Usia Muda: Ini Nutrisi Wajib yang Perlu Dikonsumsi Sekarang
-
Ketika Anak Muda Jadi Garda Depan Pencegahan Penyakit Tak Menular
-
GTM pada Anak Tak Boleh Dianggap Sepele, Ini Langkah Orang Tua untuk Membantu Nafsu Makan