Suara.com - LSM Save the Children mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan pada anak selama pandemi Covid-19 di 34 negara.
Kata Deputy Chief Program Impact and Policy Save the Children, Tata Sudrajat, mayoritas kekerasan terjadi di rumah serta diakibatkan proses pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Berdasarkan survei yang dilakukan sejak April 2019 hingga Agustus 2020 oleh Global Survey Save the Children menemukan sebanyak 23 persen orangtua melakukan pengasuhan negatif kepada anak.
Selain itu, 25 persen keluarga juga melaporkan adanya kekerasan dalam keluarga yang mengalami pengurangan pendapatan, dan 40 persen orangtua belum melakukan tindakan untuk melindungi anak dari dampak negatif internet, termasuk perundungan daring.
"Dengan adanya Pembelajaran Jarak Jauh ini konsumsi internet oleh anak yang biasanya hanya 3 hingga 4 jam menjadi naik. Sangat disayangkan orangtua belum semuanya dapat melindungi anak-anak dari paparan informasi di internet, termasuk potensi perundungan daring yang meningkat seiring dengan penggunaan internet," ujar Tata dalam konferensi pers, Selasa (15/12/2020).
Masih di acara yang sama, Interim Campaign Manager Save the Children Indonesia, Fandi Yusuf menambahkan meski berada di rumah, orangtua, guru dan semua pihak harus bisa memastikan anak tetap mendapat pembelajaran yang baik.
Apalagi lanjutnya, anak tengah mengalami kebosanan dan orangtua juga tidak antusias lagi membantu anak dalam belajar.
"Kita perlu memastikan anak-anak tetap dapat belajar di rumah sehingga tingkat keaksaraan mereta tetap terjaga dengan baik dan tetap bersemangat mempersiapkan diri kembali ke sekolah jika situasi telah aman," ujar Fandi.
"Kami juga memberikan pemahaman terhadao kondisi psikologis anak dan selama Pandemi Covid-19," tambahnya.
Baca Juga: Geliat Reseller yang Makin Produktif di Tengah Pandemi Covid-19
Ia mengingatkan tujuh risiko utama pandemi Covid-19 bagi keluarga dan anak adalah; kehilangan sosok orangtua karena Covid-19, orangtua kehilangan mata pencaharian atau pendapatan, sulit mengakses layanan pendidikan yang berkualitas.
Selain itu juga rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi, sulit mengakses layanan kesehatan dasar dan gizi, anak yang tinggal di kawasan dan rawan bencana, dan terbatasnya dukungan bagi anak dengan disabilitas.
Berita Terkait
Terpopuler
- Selamat Datang Elkan Baggott Gantikan Mees Hilgers Bela Timnas Indonesia, Peluangnya Sangat Besar
- KPK: Perusahaan Biro Travel Jual 20.000 Kuota Haji Tambahan, Duit Mengalir Sampai...
- Jangan Ketinggalan Tren! Begini Cara Cepat Ubah Foto Jadi Miniatur AI yang Lagi Viral
- Hari Pelanggan Nasional 2025: Nikmati Promo Spesial BRI, Diskon Sampai 25%
- Maki-Maki Prabowo dan Ingin Anies Baswedan Jadi Presiden, Ibu Jilbab Pink Viral Disebut Korban AI
Pilihan
-
Rieke Diah Pitaloka Bela Uya Kuya dan Eko Patrio: 'Konyol Sih, tapi Mereka Tulus!'
-
Dari Anak Ajaib Jadi Pesakitan: Ironi Perjalanan Karier Nadiem Makarim Sebelum Terjerat Korupsi
-
Nonaktif Hanya Akal-akalan, Tokoh Pergerakan Solo Desak Ahmad Sahroni hingga Eko Patrio Dipecat
-
Paspor Sehari Jadi: Jurus Sat-set untuk yang Kepepet, tapi Siap-siap Dompet Kaget!
-
Kunker Dihapus, Pensiun Jalan Terus: Cek Skema Lengkap Pendapatan Anggota DPR Terbaru!
Terkini
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas
-
Resistensi Antimikroba Ancam Pasien, Penggunaan Antibiotik Harus Lebih Cerdas
-
Ini Alasan Kenapa Donor Darah Tetap Relevan di Era Modern
-
Dari Kegelapan Menuju Cahaya: Bagaimana Operasi Katarak Gratis Mengubah Hidup Pasien
-
Jangan Sepelekan, Mulut Terbuka Saat Tidur pada Anak Bisa Jadi Tanda Masalah Kesehatan Serius!
-
Obat Sakit Gigi Pakai Getah Daun Jarak, Mitos atau Fakta?
-
Pilih Buah Lokal: Cara Asik Tanamkan Kebiasaan Makan Sehat untuk Anak Sejak Dini
-
Sinshe Modern: Rahasia Sehat Alami dengan Sentuhan Teknologi, Dari Stroke Hingga Program Hamil!