Suara.com - Ilmu kedokteran belum bisa melakukan deteksi dini terhadap kanker ovarium. Penyebabnya karena pemicu dari kanker tersebut juga belum diketahui secara pasti.
Dokter spesialis obgyn RSAB Harapan Kita Jakarta, dr. Kartika Hapsari Sp.OG., mengatakan, akibat terlambatnya deteksi dini, kebanyakan pasien datang berobat setelah mengalami stadium lanjut.
"Beda dengan kanker leher rahim itu disebabkan HPV, maka bisa deteksi dini. Karena (kanker ovarium) enggak tahu penyebabnya, teori paling besar adalah ini karena genetik. Jadi kanker ini memang diturunkan," kata dokter Kartika saat siaran langsung bersama radio kesehatan Kemenkes, Rabu (3/2/2021).
Pada sebagian besar pasien kanker ovarium, terutama yang didapat dari keturunan, akan ditemukan mutasi gen. Faktor pemicu lain selain genetik, kata dokter Kartika, bisa disebabkan karena ada masalah pada sistem reproduksi yang juga bisa menyebabkan perempuan sulit hamil.
"Beberapa teori juga menyebutkan penggunaan obat hormon berlebihan tanpa pengawasan dokter," katanya.
Lantaran belum ada metode untuk deteksi dini, dokter Kartika menyarankan tiap perempuan yang mempunyai anggota keluarga dengan riwayat kanker ovarium sebaiknya melakukan pemeriksaan genetik.
"Yang mungkin kita sarankan kepada pasien, terutama apabila ada anggota keluarga misalnya ibu atau neneknya yang secara keturunan garis langsung, menderita penyakit bisa kanker ovarium, kanker payudara atau kanker rahim, itu bisa lakukan pemeriksaan genetika," sarannya.
Diakui dokter Kartika, masyarakat Indonesia belum familiar dengan pemeriksaan genetik tersebut. Berbeda kondisi dengan negara-negara maju, di mana Pemerintah akan merekomendasikan anak-anak, terutama perempuan, untuk melakukan cek skrining genetik.
Selain itu, ia juga menyarankan agar bagi perempuan yang sudah menikah, juga memiliki anak atau telah aktif berhubungan seksual, sebaiknya dibiasakan rutin melakukan pemeriksaan USG.
Baca Juga: Perut Kembung dan Bengkak Bisa Jadi Gejala Kanker Ovarium, ini Tandanya!
"Memang penyakit ini sampai sekarang para peneliti masih sangat berlomba-lomba untuk mencari tahu deteksi dini. Karena itu satu-satunya cara untuk kita bisa membuat angka kematian pada pasien ini menurun," ucapnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Main di Luar Lebih Asyik, Taman Bermain Baru Jadi Tempat Favorit Anak dan Keluarga
-
Dari Donor Kadaver hingga Teknologi Robotik, Masa Depan Transplantasi Ginjal di Indonesia
-
Banyak Studi Sebut Paparan BPA Bisa Timbulkan Berbagai Penyakit, Ini Buktinya
-
Rahasia Hidup Sehat di Era Digital: Intip Inovasi Medis yang Bikin Umur Makin Panjang
-
Pentingnya Cek Gula Darah Mandiri: Ini Merek Terbaik yang Banyak Dipilih!
-
Prestasi Internasional Siloam Hospitals: Masuk Peringkat Perusahaan Paling Tepercaya Dunia 2025
-
Anak Bentol Setelah Makan Telur? Awas Alergi! Kenali Gejala dan Perbedaan Alergi Makanan
-
Alergi Makanan Anak: Kapan Harus Khawatir? Panduan Lengkap dari Dokter
-
Pijat Bukan Sekadar Relaksasi: Cara Alami Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
-
3.289 Kasus Baru Setiap Tahun: Mengenal Multiple Myeloma Lebih Dekat Sebelum Terlambat