Suara.com - Jerawat merupakan masalah kulit yang dialami banyak orang. Meski sangat umum, dampak jerawat bisa lebih dari sekadar fisik.
Dua peneliti psikologi UC Riverside mengatakan diperlukan pendekatan yang lebih agresif untuk mengobati jerawat, dengan menggabungkan disiplin ilmu psikolgi dan dermatologi.
"Jerawat itu menyebar, secara fisik tidak berbahaya, dan tidak menimbulkan rasa sakit, jadi kita terlalu sering meremehkan dampaknya sebagai gangguan klasik pada masa remaja dan pubertas," kata penulis makalah Misaki Natsuaki, profesor psikologi UCR.
Namun, efek psikologis dari jerawat di kalangan remaja seringkali lebih toxic atau beracun, lapor News Medical Life Sciences.
"Jerawat dapat meninggalkan bekas luka psikologis, terutama selama masa remaja ketika penampilan fisik menjadi lebih menonjol sebagai harga diri, dan psikopatologi internal, seperti depresi, semakin menonjol," kata Natsuaki.
Sejumlah penelitian menunjukkan hubungan langsung antara jerawat dan depresi, kecemasan, dan pikiran untuk bunuh diri.
Remaja dengan jerawat lebih sulit menjalin persahabatan, menemukan kekasih, dan merasa tertinggal di sekolah.
Saat diperlihatkan foto seorang remaja dengan wajah berjerawat, 65% remaja mengatakan bahwa kulit adalah hal pertama yang mereka perhatikan. Banyak orang mengaitkan remaja berjerawat sebagai ciri-ciri kutu buku, stres, dan kesepian.
Penelitian juga telah menunjukkan perempuan mengalami dampak negatif psikologis lebih tinggi daripada laki-laki.
Baca Juga: Arti Deja Vu dari Sisi Psikologis, Benarkah Potongan Kehidupan Sebelumnya?
Rekan dari Natsuaki, Tuppett Yates yang juga profesor psikologi di UCR, mengatakan beban psikologis penderita jerawat setara dengan penyakit serius lainnya, seperti diabetes.
Karenanya, diperlukan pengobatan gabungan antara bidang kedokteran, psikologi, dan sosiologi.
"Jerawat adalah suatu kondisi medis dengan efek psikologis yang jelas, efek yang tidak terkait dengan jenis kelamin, warna kulit, dan status sosial ekonomi. Jadi perawatan jerawat yang efektif terletak pada persimpangan antara kedokteran, psikologi, dan sosiologi," tandas Yates.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
Pilihan
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
Terkini
-
Miris! Ahli Kanker Cerita Dokter Layani 70 Pasien BPJS per Hari, Konsultasi Jadi Sebentar
-
Silent Killer Mengintai: 1 dari 3 Orang Indonesia Terancam Kolesterol Tinggi!
-
Jantung Sehat, Hidup Lebih Panjang: Edukasi yang Tak Boleh Ditunda
-
Siloam Hospital Peringati Hari Jantung Sedunia, Soroti Risiko AF dan Stroke di Indonesia
-
Skrining Kanker Payudara Kini Lebih Nyaman: Pemeriksaan 5 Detik untuk Hidup Lebih Lama
-
CEK FAKTA: Ilmuwan China Ciptakan Lem, Bisa Sambung Tulang dalam 3 Menit
-
Risiko Serangan Jantung Tak Pandang Usia, Pentingnya Layanan Terpadu untuk Selamatkan Nyawa
-
Bijak Garam: Cara Sederhana Cegah Hipertensi dan Penyakit Degeneratif
-
HD Theranova: Terobosan Cuci Darah yang Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
-
Stres Hilang, Jantung Sehat, Komunitas Solid: Ini Kekuatan Fun Run yang Wajib Kamu Coba!