Suara.com - Infeksi virus corona Covid-19 dapat menyebabkan gejala berkepanjangan meski sudah sembuh dari penyakit tersebut. Mulai dari disapnea atau sesak napas hingga kelelahan.
Kini, peneliti menemukan gejala long Covid baru yang berkaitan dengan indera penciuman, yakni distorsi bau yang dikenal sebagai parosmia.
"Sementara anosmia adalah hilangnya penciuman total dan hiposmia adalah penurunan indera penciuman, parosmia adalah perubahan indera penciuman," kata Seth Lieberman, MD, asisten profesor di departemen otolaringologi di NYU Langone Health.
Dilansir Health, penderita parosmia mengatakan segala sesuatu berbaru tidak sedap, bahkan busuk atau menjijikkan.
"Sepotong buah mungkin dapat berbau seperti bahan kimia, atau bahkan lebih buruk, seperti kotoran," sambung Lieberman.
Peneliti menduga parosmia hanya muncul pada beberapa orang yang mengalami gejala anosmia dan terjadi setelah sembuh dari Covid-19 atau selama masa pemulihannya.
"Hal ini diyakini karena dampak infeksi pada kemampuan saraf penciuman untuk menafsirkan bau dan aroma, dan dapat dilihat sebagai akibat dari jenis infeksi virus lainnya," jelas Charles Bailey, MD, direktur medis untuk pencegahan infeksi di Providence Mission Hospital and Providence St. Joseph Hospital in Orange County, California.
Kebanyakan orang pulih dari parosmia dalam dua hingga empat minggu, tetapi sebagian besar (diperkirakan sekitar 10%) mengembangkan parosmia dalam beberapa bulan. Pada beberapa orang kondisi ini permanen.
"Data jangka panjangnya kurang, jadi kita belum tahu prevalensi gangguan permanennya," jelas Bailey.
Baca Juga: Berkurang Terus, RSD Wisma Atlet Kini Rawat 2.807 Pasien Positif Covid-19
Bailey menambahkan bahwa pemulihan indera penciuman tampaknya bergantung pada pertumbuhan kembali saraf. Artinya, hanya sedikit perawatan untuk mempercepat proses penyembuhan.
Satu-satunya pengobatan yang terbukti efektif untuk masalah ini adalah pelatihan penciuman, yakni dengan memaparkan hidung ke berbagai bau dan aroma.
Dokter juga akan memberikan kortikosteroid intranasal atau pengobatan lain, seperti suplemen omega-3 dan steroid oral, tetapi Lieberman mengatakan tidak ada bukti untuk kefektifannya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 4 HP Flagship Turun Harga di Penghujung Tahun 2025, Ada iPhone 16 Pro!
- 5 Moisturizer Murah yang Mencerahkan Wajah untuk Ibu Rumah Tangga
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Standar Global Layanan Kesehatan Kian Ditentukan oleh Infrastruktur Rumah Sakit
-
Gaya Hidup Anak Muda: Nongkrong, Makan Enak, Tapi Kolesterol Jangan Lupa Dicek
-
Jaringan Layanan Kesehatan Ini Dorong Gaya Hidup Sehat Lewat Semangat "Care in Every Step"
-
Rekomendasi Minuman Sehat untuk Kontrol Diabetes, Ini Perbandingan Dianesia, Mganik dan Flimeal
-
Akses Perawatan Kanker Lebih Mudah dengan Fasilitas Radioterapi Modern
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Gatam Institute Eka Hospital Buktikan Operasi Lutut Robotik Kelas Dunia Ada di Indonesia
-
Teknologi Kesehatan Makin Maju: CT Scan Generasi Baru Percepat Diagnostik dan Tingkatkan Kenyamanan
-
Mengapa Air Minum Hasil Distilasi Lebih Aman untuk Kesehatan? Begini Penjelasannya
-
Temuan Baru tentang Polifenol Spearmint: Pendukung Alami Memori, Konsentrasi, hingga Kinerja Mental