Suara.com - Ketika varian Delta dan Delta Plus yang pertama kali diidentifikasi di India, serta mutasi lain dari virus corona Covid-19 terus menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, perbincangan soal suntikan booster berkembang.
Para ilmuwan menemukan bahwa kekebalan terhadap virus corona mulai berkurang berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah vaksinasi, sehingga suntikan booster, yakni pemberian vaksin kembali diharapkan dapat digunakan untuk memperpanjang kekebalan itu.
Melansir dari The National News, di Abu Dhabi, Departemen Kesehatan menawarkan dosis ketiga vaksin Sinopharm bagi mereka yang mendapat dosis kedua enam bulan lalu.
Dr ElGhazali mengatakan kekebalan mulai turun enam bulan setelah dosis kedua suntikan Sinopharm diberikan, dan suntikan booster aman dan efektif dalam pengujian.
"Kami telah melihat respons imun yang sangat kuat ketika booster ketiga Pfizer diberikan setelah dua dosis Sinopharm," katanya.
"Ketika ada infeksi alami dari virus, kami melihat respons imun setelah sekitar tiga minggu, dan kami melihat respons serupa setelah dosis vaksin kedua," lanjutnya.
Sementara itu sebuah penelitian di Jerman baru-baru ini mengamati subjek yang menerima satu dosis vaksin Oxford-AstraZeneca, diikuti delapan minggu kemudian dengan dosis suntikan Pfizer-BioNTech.
Sampel darah menunjukkan bahwa perlindungan pada orang yang diberi dua vaksin berbeda empat kali lebih tinggi daripada mereka yang menerima dua dosis suntikan Pfizer.
Penelitian di seluruh dunia pun sedang dilakukan untuk menentukan seberapa efektif suntikan booster dalam menawarkan perlindungan yang lebih besar terhadap varian baru Covid-19.
Baca Juga: Tanjungpinang Zona Merah Covid-19, 102 Pasien Meninggal Dunia
Beberapa negara, seperti AS dan Inggris, telah mengisyaratkan bahwa mereka dapat meluncurkan suntikan booster dalam waktu satu tahun.
Namun demikian, muncul perdebatan mengenai apakah program suntikan booster adalah hal yang benar untuk dilakukan ketika banyak negara kurang berkembang tertinggal dalam program vaksinasi mereka.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendesak negara-negara kaya untuk menyumbangkan vaksin kepada yang lebih miskin sebelum mempertimbangkan suntikan booster.
"Kami tidak memiliki informasi yang diperlukan untuk membuat rekomendasi apakah booster akan dibutuhkan atau tidak, ilmu pengetahuan masih berkembang," kata Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan, dikutip dari CNBC.
Berita Terkait
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
- 5 Rekomendasi Cushion Mengandung Skincare Anti-Aging Untuk Usia 40 Ke Atas
- Djarum Buka Suara soal Pencekalan Victor Hartono dalam Kasus Dugaan Korupsi Tax Amnesty
- 5 Smartwatch Terbaik untuk Olahraga dan Pantau Detak Jantung, Harga Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
Terkini
-
50 Persen Penduduk Indonesia Berisiko Osteoporosis, Kenapa Gen X Paling Terancam?
-
Waduh! Studi Temukan Bukti Hewan Ternak Makan Sampah Plastik, Bahayanya Apa Buat Kita?
-
Terobosan Penanganan Masalah Bahu: Dari Terapi Non-Bedah hingga Bedah Minim Invasif
-
Cuaca Berubah-ubah Bikin Sakit? Ini 3 Bahan Alami Andalan Dokter untuk Jaga Imunitas!
-
Review Lengkap Susu Flyon: Manfaat, Komposisi, Cara Konsumsi dan Harga Terbaru
-
BPOM: Apotek Jangan Asal Berikan Antibiotik ke Pembeli, Bahaya Level Global
-
Teknologi Jadi Kunci: Ini Pendekatan Baru Cegah Stunting dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
-
Gak Perlu Marah di Grup WA Lagi, Call Centre 127 Siap Tampung Keluhan Soal Program MBG
-
5 Pilihan Sampo untuk Dermatitis Seboroik, Mengatasi Gatal dan Kulit Kepala Sensitif
-
Alasan Penting Dokter Bukan Cuma Perlu Belajar Pengobatan, Tapi Juga 'Seni' Medis