Suara.com - Minuman keras (miras) oplosan ternyata bukan hanya masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Sejumlah masyarakat di sejumlah negara dunia ternyata juga punya tantangan yang sama.
Dalam keterangannya, Dr Hossein Hassanian-Moghaddam, profesor di Universitas Ilmu Kedokteran Shahid Beheshti, berbagi pengalaman langsungnya sebagai dokter di Iran dalam menanggapi wabah keracunan metanol/miras oplosan.
“Iran adalah negara endemik keracunan metanol hari ini karena larangan alkohol. Banyak orang yang ingin minum alkohol pergi ke pasar gelap, di mana mereka menemukan minuman beralkohol buatan sendiri dan bahkan alkohol bermerek yang dikemas ulang," kata Hossein.
Ia melanjutkan bahwa banyak dari mereka tidak menyadari risiko keracunan. Pandemi COVID-19 telah meningkatkan permintaan alkohol, termasuk sanitiser untuk disinfektan, akibat informasi yang salah bahwa alkohol dapat mencegah atau menyembuhkan COVID-19.
Baik konsumsi minuman dan pembersih tangan yang terkontaminasi metanol telah menyebabkan lebih dari seribu kematian selama pandemi. Lima persen dari kematian ini disebabkan oleh misnformasi.”
Meskipun beban keracunan metanol/miras oplosan tinggi di negara berkembang, kesadaran akan penyakit ini, mulai dari diagnosis hingga pengobatan, masih sangat rendah dan berkontribusi pada kematian yang tinggi.
“Bahkan bagi saya sebagai seorang dokter, saya belum pernah mengikuti pelatihan tentang alkohol beracun sebagai mahasiswa kedokteran. Banyak dari kita [dokter] belum pernah melihat pasien mabuk selama pelatihan medis," kata dia.
Seringkali, wabah ini terjadi di negara berkembang yang menghadapi kekurangan kapasitas perawatan kesehatan. Kondisi ini berkontribusi pada keracunan metanol yang tidak dilaporkan terutama di Timur Tengah dan Asia.
"Sebagian besar pasien saya adalah di antara populasi muda, peminum pertama kali berusia sekitar 16 dan 17 tahun. Beberapa dari mereka sekarang buta. Di negara-negara di mana petugas layanan kesehatan tidak terlatih dalam mendiagnosis penyakit, hasilnya bisa menjadi tidak biasa dan dapat menyebabkan ketegangan jangka panjang pada sistem perawatan kesehatan publik. Dalam hal fase akut, itu bisa membunuh banyak orang.”
Baca Juga: Bubarkan Komunitas Bikers, Petugas Terkejut Temukan Barang Ini
Stigma dan prasangka adalah salah satu faktor yang berkontribusi pada kesalahan diagnosis dan hilangnya nyawa akibat keracunan metanol/miras oplosan, menurut Dr Chenery Lim, seorang dokter MSF yang telah bekerja di Asia Tenggara untuk menanggapi wabah keracunan metanol/miras oplosan.
“Ada stigma besar di balik hanya mengatakan itu keracunan alkohol. Tidak ada yang mengira bahwa pasien yang mereka temui sebenarnya adalah korban. Orang-orang sudah memiliki prasangka terhadap mereka yang mengonsumsi minuman ilegal, terutama di negara-negara yang ketat secara budaya atau agama," kata Lim.
Misalnya di Indonesia, di mana alkohol tidak diperbolehkan untuk dijual di pasar, sumber keracunan biasanya adalah alkohol yang diramu secara ilegal yang dapat dibeli dari “toko minuman” tanpa izin. Kesadaran yang rendah dan kemungkinan isolasi sosial menghalangi orang untuk mencari perawatan medis.
"Anda juga dapat melihat stigma di lingkungan rumah sakit. Di banyak rumah sakit, jika Anda harus memilih antara pasien yang minum alkohol versus pasien demam, mereka akan lebih memilih untuk merawat pasien demam terlebih dahulu karena yang satunya dinilai sebagai 'pemabuk," kata dia.
Bahkan, angka kematian 24 persen keracunan metanol cukup tinggi. Dibandingkan dengan penyakit lain yang dapat dicegah, tingkat kematian itu akan membuat para praktisi medis khawatir dan akan segera meminta tanggapan darurat.
Namun karena stigma dan prasangka yang tinggi, keracunan" metanol menjadi terabaikan dan sangat sedikit yang memusatkan perhatian padanya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- Ditunjuk Prabowo Reformasi Polri: Sosok Ahmad Dofiri Jenderal Rp7 Miliar Berani Pecat Ferdy Sambo!
- Sosok Kompol Anggraini, Polwan Diduga Jadi 'Badai' di Karier Irjen Krishna Murti, Siapa Dia?
- Nasib Aiptu Rajamuddin Usai Anaknya Pukuli Guru, Diperiksa Propam: Kau Bikin Malu Saya!
- Profil dan Rekam Jejak Alimin Ribut Sujono, Pernah Vonis Mati Sambo dan Kini Gagal Jadi Hakim Agung
Pilihan
-
Dari Baper Sampai Teriak Bareng: 10+ Tontonan Netflix Buat Quality Time Makin Lengket
-
Menkeu Purbaya Janji Lindungi Industri Rokok Lokal, Mau Evaluasi Cukai Hingga Berantas Rokok China
-
Usai Dicopot dari Kepala PCO, Danantara Tunjuk Hasan Nasbi jadi Komisaris Pertamina
-
4 Rekomendasi HP Murah Rp 2 Jutaan Baterai Besar Minimal 6000 mAh, Terbaik September 2025
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
Terkini
-
Awas, Penyakit Jantung Koroner Kini Mulai Serang Usia 19 Tahun!
-
Anak Rentan DBD Sepanjang Tahun! Ini Jurus Ampuh Melindungi Keluarga
-
Main di Luar Lebih Asyik, Taman Bermain Baru Jadi Tempat Favorit Anak dan Keluarga
-
Dari Donor Kadaver hingga Teknologi Robotik, Masa Depan Transplantasi Ginjal di Indonesia
-
Banyak Studi Sebut Paparan BPA Bisa Timbulkan Berbagai Penyakit, Ini Buktinya
-
Rahasia Hidup Sehat di Era Digital: Intip Inovasi Medis yang Bikin Umur Makin Panjang
-
Pentingnya Cek Gula Darah Mandiri: Ini Merek Terbaik yang Banyak Dipilih!
-
Prestasi Internasional Siloam Hospitals: Masuk Peringkat Perusahaan Paling Tepercaya Dunia 2025
-
Anak Bentol Setelah Makan Telur? Awas Alergi! Kenali Gejala dan Perbedaan Alergi Makanan
-
Alergi Makanan Anak: Kapan Harus Khawatir? Panduan Lengkap dari Dokter