Suara.com - Virus Covid-19 hanya bisa hidup lama dan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Oleh sebab itu, mewabahnya virus Corona hingga ke seluruh dunia sebenarnya akibat ulah perilaku manusia sendiri.
Ketua Laboratorium intervensi sosial dan krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicky Chresthover, Ph.D., mengatakan bahwa wabah Covid-19 hanya bisa dihentikan dengan perilaku manusia.
"Yang membuat virus ini jadi wabah sebenarnya karena perilaku manusia. Perilaku mobilitas, perilaku tidak bersih, dan perilaku tidak taat protokol kesehatan. Jadi kunci mengatasi wabah ini mengurangi penularan, mengurangi transmisi, adalah bagaimana transmisi manusia," kata Dicky dalam webinar Satgas Covid-19, Selasa (28/9/2021).
Seperti yang terjadi di Indonesia dalam tiga sampai empat bulan terakhir di mana mobilitas masyarakat meningkat akibat adanya libur lebaran dan libur nasional. Beberapa Minggu setelahnya, lonjakan kasus positif terjadi di Indonesia pada periode Juli-Agustus.
Tren lonjakan gelombang kedua itu baru terasa melandai pasca pemerintah memberlakukan pengetatan PPKM sejak awal Juli.
"Memang kita harus menyadari bahwa kunci untuk menangani pandemi iya betul kebijakan, tapi juga kuncinya ada di perilaku manusia, patuh protokol kesehatan, mau divaksinasi," ucapnya.
Meski begitu, Covid-19 juga disebut tidak akan benar-benar hilang. Menurut Ahli Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Iwan Ariawan, meskipun dengan teknologi pembuatan vaksin juga berbagai pengobatan untuk pasien Covid-19, tetap tidak bisa menghilangkan virus Corona SARS COV-2 itu.
"Tidak mungkin kita menghilangkan virus ini. Akan tetapi bukan berarti kita putus asa, dia tetap ada, tapi yang tertular hanya sedikit. Itu yang disebut menjadi endemi. Kita bisa beraktivitas dengan lebih longgar, mungkin tidak bisa seperti sebelum pandemi, bisa melepas masker itu masih lama, tapi kalau kita bisa menekan kasusnya terus kita bisa lebih nyaman dan aman beraktivitas," tuturnya.
Namun akan selalu ada skenario terburuk dalam kondisi apa pun. Dokter Iwan menyampaikan, jika mobilitas tinggi tidak terkendali, ditambah masyarakat tetap abai terhadap protokol kesehatan, maka kondisi terburuk tentu kembali terjadi lonjakan kasus positif lagi.
Baca Juga: Update COVID-19 Jakarta 28 September: Positif 104, Sembuh 161, Meninggal 5
"Ditambah ada varian baru yang lebih menyebar dari Delta, itu bisa terjadi gelombang tinggi dan puncaknya bisa lebih tinggi dari yang sudah kita alami," ucapnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Jemput Weekend Seru di Bogor! 4 Destinasi Wisata dan Kuliner Hits yang Wajib Dicoba Gen Z
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
Pilihan
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
Terkini
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?