Suara.com - Untuk menurunkan berat badan, banyak orang memilih melakukan diet ketat maupun sangat membatasi asupan kalori makanan. Diet ketat mungkin membantu Anda lebih langsing, namun bisa merugikan kesehatan karena memengaruhi kekebalan tubuh.
Sebuah studi Iran yang diterbitkan dalam American Journal of Translational Research bertujuan untuk mengevaluasi apakah pembatasan kalori yang signifikan akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.
Dalam studi tersebut, tim dokter spesialis gizi dan kesehatan masyarakat mengumpulkan 29 peserta wanita yang kelebihan berat badan, dengan indeks massa tubuh lebih besar dari 30 kg/m² (yang merupakan patokan American Heart Association untuk obesitas).
Dilansir dari Eat This, di sini para peneliti membagi 29 wanita menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen menjalani pengobatan untuk menurunkan berat badan, selain melakukan diet yang meminta mereka untuk mengonsumsi 600 kalori lebih sedikit per hari daripada kebutuhan kalori standar.
Di sisi lain, kelompok peserta lainnya bisa makan dengan leluasa. Baik pada awal percobaan dan setelah kelompok eksperimen kehilangan 10% dari berat badan mereka.
Hasil menunjukkan, pembatasan makanan yang agresif dapat menyebabkan beberapa pelaku diet menjadi lebih rentan terhadap penyakit.
Di sini para peneliti mengukur jumlah limfosit (sejenis sel darah putih yang mendukung fungsi kekebalan tubuh) di masing-masing peserta.
Mereka menyatakan bahwa bagi wanita yang menjalani pembatasan kalori dan pengobatan untuk menurunkan 10% dari berat badan mereka, ditemukan "sel pembunuh alami" (sel yang merupakan kunci sistem kekebalan tubuh) menurun.
Sementara itu, untuk kelompok kontrol yang makan dengan bebas, para peneliti melaporkan bahwa tidak ada perubahan signifikan yang diamati pada penanda kekebalan yang diukur.
Baca Juga: Diet Soda Bikin Wanita Ingin Makan Lebih Sedikit tapi Tinggi Kalori
Dari temuan mereka, para peneliti menyimpulkan penurunan berat badan yang diinduksi pembatasan kalori mungkin secara independen melemahkan pertahanan kekebalan antivirus. Namun mereka mencatat bahwa uji klinis lebih lanjut pada subjek diperlukan.
Meski begitu, hasil penelitian ini seharusnya tidak menyurutkan Anda untuk menurunkan berat badan agar lebih sehat.
Berita Terkait
Terpopuler
- Feri Amsari Singgung Pendidikan Gibran di Australia: Ijazah atau Cuma Sertifikat Bimbel?
- 7 Mobil Kecil Matic Murah untuk Keluarga Baru, Irit dan Perawatan Mudah
- Gugat Cerai Hamish Daud? 6 Fakta Mengejutkan di Kabar Perceraian Raisa
- 21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 22 Oktober 2025, Dapatkan 1.500 Gems dan Player 110-113 Sekarang
- Pria Protes Beli Mie Instan Sekardus Tak Ada Bumbu Cabai, Respons Indomie Bikin Ngakak!
Pilihan
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
-
Heboh Kasus Ponpes Ditagih PBB hingga Diancam Garis Polisi, Menkeu Purbaya Bakal Lakukan Ini
Terkini
-
Vitamin C dan Kolagen: Duo Ampuh untuk Kulit Elastis dan Imunitas Optimal
-
Smart Hospital, Indonesia Mulai Produksi Tempat Tidur Rumah Sakit yang Bisa 'Baca' Kondisi Pasien
-
Tren Minuman Bernutrisi: Dari Jamu ke Collagen Drink, Inovasi Kesehatan yang Jadi Gaya Hidup Baru
-
Perawatan Komprehensif untuk Thalasemia: Dari Transfusi hingga Dukungan Psikologis
-
Indonesia Kaya Tanaman Herbal, Kenapa Produksi Obat Alami Dalam Negeri Lambat?
-
Supaya Anak Peduli Lingkungan, Begini Cara Bangun Karakter Bijak Plastik Sejak Dini
-
Kemendagri Dorong Penurunan Angka Kematian Ibu Lewat Penguatan Peran TP PKK di Daerah
-
Gaya Hidup Modern Bikin Diabetes di Usia Muda Meningkat? Ini Kata Dokter
-
Saat Kesehatan Mata Jadi Tantangan Baru, Ini Pentingnya Vision Care Terjangkau dan Berkelanjutan
-
Bikin Anak Jadi Percaya Diri: Pentingnya Ruang Eksplorasi di Era Digital