Suara.com - Depresi merupakan hal yang umum, tetapi sangat sulit dideteksi kerena setiap orang memiliki gejala yang berbeda. Selain itu, tidak ada tes diagnostik satu ukuran untuk semua gejala depresi.
Namun, ada satu penanda biologis yang mudah dideteksi sebagai depresi, yakni metabolisme. Umumnya, hal ini menyebabkan penambahan berat badan pada pengidap depresi.
Dalam studi baru yang terbit di Journal of Affective Disorders Reports, para ilmuwan mengamati perbedaan metabolisme utama antara orang dengan depresi kronis dengan gangguan depresi mayor episodik.
Metabolit merupakan molekul yang digunakan saat tubuh memecah apa yang dikonsumsi seseorang serta lemak dalam tubuh.
Menurut laporan Inverse, riset awal menunjukkan bahwa metabolit bisa menjadi prediktor risiko seseorang dalam mengembangkan depresi.
Studi baru ini membawa riset awal selangkah lebih maju dengan menemukan berbagai jenis depresi yang mungkin terkait dengan perbedaan profil metabolisme.
Penelitian ini melibatkan 76 orang berusia 14 hingga 20 tahun. Sebanyak 33 di antaranya mengalami gangguan depresi mayor dan 43 lainnya mengidap depresi kronis.
Setelah meminta sampel darah peserta, peneliti menemukan adanya konsentrasi 9 metabolit berbeda antara pengidap depresi kronis dengan depresi mayor.
Tingkat salah satu metablit, yakni kolin (nutrisi penting), lebih tinggi pada pengidep depresi kronis dibanding depresi mayor episodik.
Baca Juga: Benarkah Metabolisme yang Cepat Dapat Membantu Menurunkan Berat Badan? Ini Faktanya
Temuan ini sesuai dengan studi sebelumnya yang mengungkap bahwa kadar kolin meningkat seiring waktu dan tingkat keparahan depresi.
Meski begitu peneliti Karoliina Kurkinen dari University of Eastern Finland mengatakan bahwa studinya ini termasuk pendahulu kecil, sehingga perlu dilakukan riset lainnya dengan peserta yang lebih besar.
"Semua yang kita lakukan atau telan memengaruhi metabolisme, entah bagaimana. Kita bisa mengurangi risiko depresi dengan makan yang baik, berolahraga, tidur dengan benar, dan menghindari alkohol," jelas Kurkien.
Menurutnya, kebiasaan hidup tersebut bisa efektif dalam pemulihan depresi, meski obat dan terapi masih penting dalam merawat gangguan mental tersebut.
Berita Terkait
Terpopuler
- 23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 17 Oktober: Klaim 16 Ribu Gems dan Pemain 110-113
- Jepang Berencana Keluar dari AFC, Timnas Indonesia Bakal Ikuti Jejaknya?
- Daftar HP Xiaomi yang Terima Update HyperOS 3 di Oktober 2025, Lengkap Redmi dan POCO
- Sosok Timothy Anugerah, Mahasiswa Unud yang Meninggal Dunia dan Kisahnya Jadi Korban Bullying
- 7 Fakta Nusakambangan, Penjara di Jawa Tengah yang Dihuni Ammar Zoni: Dijuluki Pulau Kematian
Pilihan
-
Hasil Drawing SEA Games 2025: Timnas Indonesia U-23 Ketiban Sial!
-
Menkeu Purbaya Curigai Permainan Bunga Usai Tahu Duit Pemerintah Ratusan Triliun Ada di Bank
-
Pemerintah Buka Program Magang Nasional, Siapkan 100 Ribu Lowongan di Perusahaan Swasta Hingga BUMN
-
6 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori Besar untuk Orang Tua, Simpel dan Aman
-
Alhamdulillah! Peserta Magang Nasional Digaji UMP Plus Jaminan Sosial dari Prabowo
Terkini
-
Kisah Ibu Tunggal Anak Meninggal akibat Difteri Lupa Imunisasi, Dihantui Penyesalan!
-
Masa Depan Layanan Kesehatan Ada di Genggaman Anda: Bagaimana Digitalisasi Memudahkan Pasien?
-
Manfaat Jeda Sejenak, Ketenangan yang Menyelamatkan di Tengah Hiruk Pikuk Kota
-
WHO Apresiasi Kemajuan Indonesia dalam Pengembangan Obat Herbal Modern
-
Stop Diet Ekstrem! 3 Langkah Sederhana Perbaiki Pencernaan, Badan Jadi Lebih Sehat
-
Prodia Skrining 23.000 Lansia di Indonesia, Dukung Deteksi Dini dan Pencegahan Demensia
-
Perjalanan Spiritual dan Mental, Gilang Juragan 99 Tuntaskan Chicago Marathon
-
Turun Berat Badan Tanpa Drama, Klinik Obesitas Digital Ini Siap Dampingi Perjalanan Dietmu
-
Tips Jaga Kesehatan Kulit di Tengah Tumpukan Pekerjaan Akhir Tahun
-
RS Swasta Gelar Pameran Kesehatan Nasional, Ajak Publik Hidup Lebih Sehat dan Peduli Diri