Suara.com - Seorang pria berusia 50 tahun mengalami halusinasi selama dua hari setelah mengonsumsi antibiotik untuk mengobati pneumonia bakteri.
Selama dua hari tersebut, pria yang sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit mental dan baru pertama meminum antibiotik, mengalami perubahan suasana hati, membuatnya mudah tersinggung dan mulai berbicara tidak jelas.
Berdasarkan Live Science, perilaku tersebut merupakan gejala mania, suatu kondisi yang ditandai dengan tingginya tingkat energi secara tidak normal dibarengi dengan pikiran dan perilaku yang tidak menentu.
Ketika memeriksakan diri ke unit psikiatri di Jenewa, pria tersebut mengaku malam sebelumnya baru saja meminum antibiotik pertamanya. Lalu, ia merasa sekarat dan mengalami halusinasi, seolah-olah mendengar Tuhan berbicara kepadanya.
Dokter mendiagnosisnya dengan antibiomania, efek samping langka dari pengobatan antibiotik.
Dalam laman BMC Psychiatry, istilah antibiomania pertama kali muncul pada 2002, mengacu pada gejala manik yang disebabkan oleh antibiotik.
Meski banyak laporan khusus, pengetahuan tentang fenomena ini masih kurang.
Psikolog dan psikiater di Catholic University of Leuven (KU Leuven), Belgia, Pascal Sienaert, mengaku telah melihat beberapa kasus lain.
"Saya telah melihatnya, dalam pengalaman saya sendiri, setidaknya tiga kasus, satu dengan episode berulang," jelas Sienaert.
Baca Juga: Cara Kerja Antibiotik, dari Mencegah Berkembang Biak hingga Mematikan secara Langsung
Ia dan rekan-rekannya menemukan bahwa salah satu antibiotik yang dikonsumsi pria tersebut, Clarithromycin, merupakan obat yang paling sering terlibat dalam kasus antibiomania. Antibiotik lannya adalah quinolone ciprofloxacin dan ofloxacin.
Pria dari Jenewa ini akhirnya tidak membutuhkan antipsikotik, dan dokter meresepkannya dengan lorazepam, obat untuk mengobati kecemasan dan kejang. Seminggu setelah berhenti mengonsumsi antibiotik, pria itu tidak lagi mengalami gejala manik.
Mekanisme interaksi antara antibiotik dan sistem saraf pusat (termasuk otak) masih belum diketahui. Namun, Sienaert memiliki beberapa hipotesis, salah satu beberapa kelas antibiotik dapat memengaruhi sistem GABAergik otak.
Antibiotik bertindak sebagai penghambat asam gamma-aminobutirat (GABA), neurotransmitter yang bertanggung jawab untuk meredam neuron yang tereksitasi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 10 Mobil Bekas Rp75 Jutaan yang Serba Bisa untuk Harian, Kerja, dan Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Jangan Anggap Remeh! Diare dan Nyeri Perut Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Kronis yang Mengancam Jiwa
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Produksi Makanan Siap Santap, Solusi Pangan Bernutrisi saat Darurat Bencana
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat
-
Di Balik Prestasi Atlet, Ada Peran Layanan Kesehatan yang Makin Krusial