Suara.com - Invasi Rusia ke Ukraina ternyata menyebabkan dampak sangat luas. Misalnya, semakin banyak orang yang menderita penyakit dan kematian akibat sistem kesehatan terganggu dan kurangnya akses ke obat, makanan, dan perawatan.
Dalam kondisi ini, pengendalian penyakit menular kesulitan. Salah satu penyakitnya adalah tuberkulosis (TB), infeksi bakteri yang ditularkan melalui batuk.
Infeksi tuberkulosis telah membunuh banyak orang, bahkan korbannya lebih dari jumlah kematian Covid-19. Kondisi ini dapat disembuhkan, tetapi membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menjalani pengobatan.
Jenis TB yang paling sulit diobati adalah tuberkulosis resisten obat atau TB-MDR dan TB yang resistan terhadap obat lini kedua atau TB-XDR. Dua kondisi ini memengaruhi setengah juga populasi per tahun, lapor The Conversation.
Menurut dokter penyakit menular dan dosen klinis senior Tom Wingfield dari Universitas Liverpool, TB MDR merupakan tantangan utama kesehatan masyarakat global dan penyebab utama kematian akibat resistensi obat antibiotik.
Hingga kini, Ukraina masih menjadi salah satu beban TB tertinggi di Eropa. Hampir sepertiga orang yang terkena dampak perang mengidap TB yang resisten terhadap obat, jumlah TB-MDR dan TB-XDR tinggi dan terus meningkat.
Invasi ke Ukraina telah membuat pengendalian TB di wilayah tersebut sulit dan berpotensi menyebar ke luar.
"Perang menyebabkab kondisi yang menjadi tempat berkembang biaknya TB secara sempurna, termasuk kerawatanan pangan dan kepadatan penduduk di ruang berventilasi buruk," jelas Wingfield.
Terlebih, perang merusak infrastruktur perawatan kesehatan, menghancurkan program vaksinasi, dan membatasi akses ke perawatan berkualitas.
Baca Juga: Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 24 Maret 2022 Mengambil Tema "Invest to End TB, Save Lives"
Salah satu bentuk dampaknya adalah terlambatnya diagnosis, mengakibatkan kompikasi buruk dan risiko penularan lebih besar.
Lebih dari tiga juta orang Ukraina meninggalkan negara asalnya ke Suriah, Afghanistan, dan Ethiopia. Semua wilayak tersebut memiliki prevalensi MDR TB yang sangat tinggi.
"Imigrasi tersebut akan menjadi tantangan respons kesehatan masyarakat," sambungnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Geger Shutdown AS, Menko Airlangga: Perundingan Dagang RI Berhenti Dulu!
Terkini
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?
-
Anak Percaya Diri, Sukses di Masa Depan! Ini yang Wajib Orang Tua Lakukan!
-
Produk Susu Lokal Tembus Pasar ASEAN, Perkuat Gizi Anak Asia Tenggara