Suara.com - Sakit asma bisa mengganggu keseharian, tapi sayangnya sebagian besar pasien menjadikan inhaler pelega sebagai terapi utama, padahal alat ini sudah tidak disarankan.
Dikatakan Dokter Spesialis Paru, Dr. Mohamad Yanuar Fajar, Sp.P penggunaan inhaler SABA (short acting beta agonist) bisa meningkatkan terjadinya serangan asma bahkan kematian.
Asma adalah penyakit akibat peradangan dalam saluran udara atau bronkus. Peradangan itu akhirnya membuat saluran pernapasan bengkak dan sangat sensitif. Akibatnya, saluran pernapasan menyempit sehingga udara yang masuk ke paru-paru jadi terbatas.
"Penggunaan SABA secara berlebih dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan asma, rawat inap karena asma, bahkan kematian," ujar Dr. Yanuar di Jakarta Selatan, Rabu (10/5/2023).
Dr. Yanuar menjelaskan inhaler pelega SABA memang secara instan bisa memberikan perasaan lega dengan cepat, yang hasilnya jadi lini pertama terapi asma sejak 50 tahun lamanya.
Tapi sayangnya, semakin banyak dan sering inhaler pelega SABA digunakan bisa mengurangi efek atau manfaatnya pada penggunanya.
"Sehingga untuk mendapatkan efek yang sama diperlukan lebih banyak inhalasi atau obat," sambung Dr. Yanuar.
Dengan risiko inilah inhaler pelega SABA tidak lagi direkomendasikan, sebagai gantinya pasien asma harus mendapat pengobatan mengandung ICS atau antiradang maupun anti inflamasi, seperti kombinasi ICS-Formoterol, untuk mengurangi risiko serangan asma.
"Pengobatan asma dengan hanya menggunakan inhaler pelega SABA tidak lagi direkomendasikan, karena SABA tidak mengatasi peradangan yang mendasari asma," tutup Dr. Yanuar.
Baca Juga: Masih Misteri, Penyebab Kematian Pelaku Penembakan Kantor MUI Pusat, karena Sakit Jantung Mendadak?
Sementara itu data menunjukkan kondisi pasien asma di Indonesia masih membutuhkan pengobatan yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Studi SABINA atau SABA Use in Asthma juga menunjukkan bahwa 37% pasien asma di Indonesia diresepkan inhaler pelega SABA lebih dari 3 kanister per tahun, dimana jumlah resep tersebut justru dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan yang parah.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Calon Pelatih Indonesia John Herdman Ngaku Dapat Tawaran Timnas tapi Harus Izin Istri
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
Pilihan
-
CERPEN: Liak
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
Terkini
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Produksi Makanan Siap Santap, Solusi Pangan Bernutrisi saat Darurat Bencana
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat
-
Di Balik Prestasi Atlet, Ada Peran Layanan Kesehatan yang Makin Krusial
-
Terobosan Baru Pengobatan Diabetes di Indonesia: Insulin 'Ajaib' yang Minim Risiko Gula Darah Rendah