Suara.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tegas membantah bahwa program penyebaran nyamuk wolbachia memicu keganasan nyamuk dengue atau Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue (DBD).
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, menjelaskan karakteristik nyamuk Aedes aegypti di daerah tetap sama, baik sebelum maupun sesudah penyebaran nyamuk wolbachia.
Bahkan, tanda dan gejala orang yang terkena gigitan nyamuk Aedes aegypti juga sama, seperti demam tinggi yang diikuti nyeri otot, mual, muntah, sakit kepala, mimisan, dan gusi berdarah.
“Secara keseluruhan karakteristik dan gejalanya sama. Bahkan, tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti sebelum dan setelah wolbachia dilepaskan," ujar Maxi melalui keterangan yang diterima suara.com, Selasa (2/4/2024).
Wolbachia adalah bakteri alami yang ada di dalam tubuh beberapa serangga seperti lalat buah, kupu-kupu, ngengat. Bakteri wolbachia menghambat perkembangan virus dengue di tubuh nyamuk Aedes aegypti. Ini artinya, kemampuan nyamuk dalam menularkan virus ke manusia akan berkurang.
Untuk memastikan nyamuk Aedes aegypti yang mengandung wolbachia ini efektif mencegah DBD, maka presentase idealnya minimal mencapai 60 persen di alam.
Saat ini, sudah ada 5 kota tujuan penyebaran wolbachia, yakni Semarang, Kupang, Bontang, Bandung dan Jakarta Barat. Namun, khusus Jakarta Barat, penyebaran wolbachia hingga kini belum dilaksanakan.
Dari 5 kota di atas, memang belum ada satupun yang populasinya mencapai angka ideal. Dikatakan Maxi, konsentrasi nyamuk Aedes aegypti yang mengandung wolbachia baru ada di kisaran angka 20 persen yang ada di alam.
“Setelah populasinya mencapai 60 persen, pelepasan ember nyamuk ber-wolbachia akan ditarik kembali dan hasil penurunan kasus dengue baru akan mulai terlihat setelah 2 tahun, 4 tahun, 10 tahun dan seterusnya, seperti implementasi yang dilakukan di Yogyakarta,” ungkap Maxi.
Baca Juga: Peneliti Ungkap Penyebab Kasus DBD Terus Meningkat, Karena Perubahan Iklim?
Penyebaran wolbachia sendiri telah terbukti efektif menurunkan kasus demam berdarah di kota Yogyakarta. Sejak pertama kali disebar pada tahun 2017, nyamuk dengan bakteri wolbachia telah terbukti mampu menurunkan 77 persen angka kejadian dengue dan 86 persen kejadian masuk rumah sakit.
Maxi mengatakan bahwa penerapan teknologi nyamuk ber-wolbachia dipastikan aman karena memanfaatkan bakteri alami wolbachia yang ada pada serangga dan telah melalui proses penelitian yang cukup panjang.
Penelitian teknologi wolbachia dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun, yakni dari 2011 sampai 2023. Penelitian ini melewati 4 tahapan penelitian, mulai dari fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022).
Di dunia, studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) dilakukan di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT) yang merupakan sebuah desain dengan standar tertinggi.
Di Indonesia, analisis risiko diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes Kemenkes dengan melibatkan 20 orang dari berbagai kepakaran. Hasil analisis memperlihatkan bahwa pelepasan nyamuk ber-wolbachia memiliki risiko yang sangat rendah.
“Yang mana dalam 30 tahun ke depan, peluang peningkatan bahaya dari penyebaran aedes aegypti ber-wolbachia dapat diabaikan (negligible),” jelas Maxi.
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Hasan Nasbi Sebut Menkeu Purbaya Berbahaya, Bisa Lemahkan Pemerintah
-
5 Fakta Kemenangan 2-1 Real Madrid Atas Barcelona: 16 Gol Kylian Mbappe
-
Harga Emas Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Sentuh Rp 2,4 Juta di Pegadaian, Antam Nihil!
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
Terkini
-
Apotek Bisa Jadi Garda Depan Edukasi dan Deteksi Dini Stunting, Begini Perannya
-
Tak Sekadar Air Putih, Ini Alasan Artesian Water Jadi Tren Kesehatan Baru
-
Vitamin C dan Kolagen: Duo Ampuh untuk Kulit Elastis dan Imunitas Optimal
-
Smart Hospital, Indonesia Mulai Produksi Tempat Tidur Rumah Sakit yang Bisa 'Baca' Kondisi Pasien
-
Tren Minuman Bernutrisi: Dari Jamu ke Collagen Drink, Inovasi Kesehatan yang Jadi Gaya Hidup Baru
-
Perawatan Komprehensif untuk Thalasemia: Dari Transfusi hingga Dukungan Psikologis
-
Indonesia Kaya Tanaman Herbal, Kenapa Produksi Obat Alami Dalam Negeri Lambat?
-
Supaya Anak Peduli Lingkungan, Begini Cara Bangun Karakter Bijak Plastik Sejak Dini
-
Kemendagri Dorong Penurunan Angka Kematian Ibu Lewat Penguatan Peran TP PKK di Daerah
-
Gaya Hidup Modern Bikin Diabetes di Usia Muda Meningkat? Ini Kata Dokter