Jika SVT tidak segera ditangani, ada tiga potensi komplikasi serius yang dapat terjadi. Pertama, denyut jantung bisa meningkat secara ekstrem hingga menyebabkan pingsan.
Kedua, pada kasus kelainan irama jantung bawaan tertentu, denyut jantung dapat melonjak hingga 300 bpm yang sangat berbahaya karena memicu kematian mendadak.
Ketiga, gangguan irama dalam jangka panjang dapat menimbulkan risiko gangguan irama lain yang lebih kompleks, yaitu atrial fibrillation (AF) dengan risiko gagal jantung dan stroke.
Untuk mencegah komplikasi, SVT dapat ditangani melalui prosedur medis yang disebut ablasi, yang bertujuan mengatasi jalur listrik abnormal di jantung secara permanen.
Prosedur ablasi
SVT terjadi akibat adanya generator atau jalur listrik tambahan di jantung yang memicu gangguan irama.
Untuk mengatasi hal ini, dokter dapat melakukan prosedur ablasi, yaitu dengan mencari dan menonaktifkan jaringan listrik berlebih tersebut.
Proses itu dilakukan dengan pemanasan menggunakan energi frekuensi radio (radio-frequency/RF) untuk menghentikan aktivitas listrik abnormal di area yang bermasalah.
dr Dony menjelaskan, prosedur ablasi memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dalam mengatasi SVT, yakni sekitar 90-95 persen.
Baca Juga: Perlu Edukasi Inklusif, Penyakit Jantung Bawaan Ancam Anak dengan Kondisi Khusus
"Pasien yang dapat menjalani prosedur ablasi bervariasi, mulai dari anak-anak hingga lansia. Di RS Siloam TB Simatupang, prosedur ablasi bisa dilakukan pada anak berusia 5 tahun hingga pasien berusia lebih dari 70 tahun,” jelas dr Dony.
Ablasi bukanlah operasi dengan pembelahan dada (torakotomi) melainkan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pangkal paha.
Kateter akan melewati pembuluh darah besar menuju jantung. Dalam prosedur ini, dokter akan menghancurkan bagian kecil jaringan jantung yang menjadi sumber gangguan listrik.
Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah jika lokasi jaringan yang perlu dihancurkan berada terlalu dekat dengan jalur utama sistem listrik jantung.
Bila jalur utama ini terkena panas saat proses ablasi, fungsi penghantar listrik jantung bisa terganggu.
Jika hal itu terjadi, dokter mungkin perlu memasang alat pacu jantung di bawah kulit untuk membantu mengatur detak jantung secara normal.
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
Pilihan
-
Pakai Bahasa Pesantren! BP BUMN Sindir Perusahaan Pelat Merah Rugi Terus: La Yamutu Wala Yahya
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
Terkini
-
9 Rekomendasi Cushion untuk Kulit Sawo Matang, Hasil Flawless dan Tahan Lama
-
7 Sepatu Running Plat Carbon Terbaik, Lari Makin Kencang Modal Rp500 Ribuan
-
Viral! Ibu di Lampung Amuk Siswi yang Diduga Bully Anaknya yang Yatim, Tegaskan Tak Mau Memaafkan
-
7 Rekomendasi Outfit Pilates Hijab yang Nyaman dan Stylish, Harga Terjangkau
-
Gebrakan Fashion Indonesia: Purana dan Fuguku Pukau Panggung Internasional di Kuala Lumpur
-
4 Rekomendasi Face Wash Non SLS yang Aman untuk Kulit Sensitif
-
6 Rekomendasi Sepatu Lari Terbaik untuk Pace 6, Nyaman dan Cegah Risiko Cedera
-
Fosil Reptil Laut Berleher Panjang dari Zaman Purba Ditemukan di China
-
7 Pilihan Lip Tint Warna Natural untuk Remaja, Glow Up Alami Modal Rp15 Ribuan
-
5 Sunscreen Mengandung Ceramide untuk Melindungi Skin Barrier, Ramah Kulit Sensitif