Lifestyle / Female
Senin, 08 September 2025 | 16:43 WIB
Kolase foto Sri Mulyani (kiri) dan Purbaya Yudhi Sadewa (kanan). [Suara.com]

Suara.com - Sri Mulyani Indrawati, salah satu figur paling berpengaruh dalam kabinet Indonesia selama lebih dari satu dekade, akhirnya mengakhiri masa jabatannya sebagai Menteri Keuangan (MenkeuP)

Posisinya kini digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa setelah pelantikan yang digelar di Istana Kepresidenan pada Senin, 8 September 2025.

Meski dikenal dengan berbagai prestasi dan penghargaan internasional, perjalanannya tidak selalu mulus. Menjelang akhir masa baktinya, sejumlah kebijakan dan pernyataan Sri Mulyani memicu kontroversi tajam dan kemarahan publik.

Isu-isu ini menjadi perbincangan hangat dan dinilai berkontribusi pada dinamika politik yang berujung pada perombakan kabinet.

Berikut adalah empat kontroversi utama yang membayangi Sri Mulyani.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati. [Antara/Muhammad Iqbal]

1. Peran di Balik Kenaikan Gaji Anggota DPR

Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang dinilai semakin sulit, kabar kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR memicu gelombang protes besar di berbagai kota.

Publik menyoroti peran sentral Menteri Keuangan dalam setiap kebijakan yang berdampak pada anggaran negara.

Menurut Undang-Undang Keuangan Negara, setiap usulan kenaikan gaji pejabat harus melalui perhitungan dan persetujuan fiskal dari Kementerian Keuangan.

Baca Juga: Selain Pecat Sri Mulyani, Ini 4 Kementerian yang Kena Reshuffle Prabowo

Sri Mulyani, sebagai Bendahara Negara, dianggap memiliki andil besar dalam memberikan lampu hijau terhadap kebijakan ini. Tanpa rekomendasi dan alokasi anggaran darinya, kenaikan tersebut tidak mungkin terealisasi.

Hal ini menimbulkan persepsi bahwa ia lebih memprioritaskan kesejahteraan pejabat daripada kesulitan rakyat, sebuah ironi di tengah gencarnya pemerintah memungut pajak dari warganya.

2. Pernyataan Kontroversial Mengenai Gaji Guru dan Dosen

Sebuah pernyataan Sri Mulyani dalam sebuah forum di Institut Teknologi Bandung (ITB) turut menyulut polemik.

Sri Mulyani menyinggung keluhan masyarakat mengenai kecilnya gaji guru dan dosen, dan mempertanyakan apakah semua beban tersebut harus ditanggung oleh pemerintah atau masyarakat perlu ikut berpartisipasi.

Ucapan ini menuai kritik pedas karena dianggap sebagai cerminan sikap negara yang seolah ingin lepas tangan dari tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan bangsa.

Para pegiat pendidikan mengingatkan bahwa kesejahteraan tenaga pendidik adalah investasi, bukan beban, dan merupakan amanat UUD 1945.

Pernyataan ini dinilai kontradiktif dengan janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa pendidikan tidak lagi menjadi prioritas utama.

3. Menyamakan Pajak dengan Zakat dan Wakaf

Kontroversi lainnya yang tak kalah sensitif adalah saat Sri Mulyani menyebut bahwa membayar pajak memiliki manfaat yang sama mulianya dengan menunaikan zakat dan wakaf.

Menurutnya, ketiganya adalah cara menyalurkan hak orang lain yang ada dalam harta setiap individu.

Pernyataan tersebut segera memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama tokoh agama.

Pajak adalah kewajiban hukum kepada negara yang bersifat memaksa, sementara zakat dan wakaf adalah ibadah dalam syariat Islam dengan aturan, tujuan, dan peruntukan yang jelas berbeda.

Menyamakan keduanya dianggap sebagai simplifikasi yang tidak tepat dan berpotensi merendahkan makna ibadah, sekaligus menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.

4. Target Pajak yang Terus Meroket

Di tengah berbagai kontroversi tersebut, Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Sri Mulyani terus menaikkan target penerimaan pajak.

Untuk RAPBN 2026, target penerimaan perpajakan ditetapkan mendekati Rp2.700 triliun, sebuah angka yang fantastis.

Meski pada akhirnya Sri Mulyani menjamin tidak akan ada kenaikan tarif atau jenis pajak baru pada 2026, publik tetap merasa cemas.

Kebijakan untuk terus menggenjot penerimaan pajak di saat yang sama ketika pemerintah menyetujui kenaikan gaji pejabat dan mengeluarkan pernyataan yang dianggap kurang berempati, menciptakan citra pemerintah yang hanya fokus membebani rakyat tanpa memberikan teladan yang baik.

Serangkaian kontroversi ini secara kumulatif membentuk persepsi publik yang negatif dan menggerus kepercayaan. Pada akhirnya, isu-isu di atas menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan Sri Mulyani di akhir masa jabatannya.

Load More