Lifestyle / Komunitas
Sabtu, 27 Desember 2025 | 18:01 WIB
Ilustrasi Cancel Culture (Freepik)
Baca 10 detik
  • Kelas Humas Muda (KHM) Vol. 5 membahas cara bertahan dari krisis reputasi akibat cancel culture.
  • Forum ini diadakan pada 20 Desember 2025 di Jakarta, fokus pada respons cepat dan konsistensi nilai.
  • Manajemen krisis kini menuntut komunikator membangun kejelasan sikap, empati, dan kredibilitas yang autentik.

Suara.com - Di era media sosial, reputasi tak lagi runtuh secara perlahan—ia bisa ambruk dalam hitungan jam. Satu potongan video, satu unggahan lama, atau satu kalimat yang dianggap keliru dapat memicu gelombang cancel culture yang masif. Fenomena ini menjadikan krisis reputasi sebagai risiko nyata bagi individu, brand, hingga institusi publik.

Menutup rangkaian kegiatan sepanjang 2025, Kelas Humas Muda (KHM) Vol. 5 mengangkat tema “Cancel Culture and The Art of Surviving in Crisis”, sebuah refleksi atas realitas komunikasi publik yang kini semakin rapuh sekaligus menantang.

Digelar pada Sabtu, 20 Desember 2025 di Bart, Artotel Thamrin, Jakarta, forum ini menjadi ruang belajar dan diskusi bagi generasi muda komunikasi untuk memahami bahwa krisis hari ini bukan hanya soal salah dan benar, melainkan soal persepsi, kecepatan respons, dan konsistensi nilai.

Digital PR Challenge: Crisis Communication. (Dok. KHM)

Cancel culture kerap hadir tanpa ruang klarifikasi yang memadai. Publik menuntut respons cepat, sementara kesalahan strategi komunikasi justru dapat memperkeruh keadaan.

Dalam konteks inilah humas dan komunikator dituntut tidak sekadar reaktif, tetapi memiliki kesiapsiagaan krisis yang matang—mulai dari pemetaan risiko, pengelolaan narasi, hingga pemulihan kepercayaan jangka panjang.

“Inisiatif ini kami rancang sebagai ruang diskusi dan kolaborasi untuk memahami bagaimana menghadapi krisis reputasi, khususnya yang dipicu oleh cancel culture. Di tengah tekanan publik yang masif, strategi komunikasi yang tepat menjadi penentu apakah sebuah entitas bisa bertahan atau justru tenggelam,” ujar Inisiator Kelas Humas Muda, Reylando Eka Putra.

Melalui sudut pandang lintas sektor—praktisi komunikasi, pelaku bisnis, hingga figur publik digital—KHM Vol. 5 menegaskan bahwa tidak semua krisis harus dibalas dengan pernyataan besar atau keterlibatan pimpinan tertinggi. Yang jauh lebih krusial adalah kemampuan mengamankan alur informasi, menyampaikan pesan yang minimum namun bermakna, serta memastikan komunikasi yang cepat, faktual, dan bertanggung jawab.

Pendekatan ini diperkuat melalui sesi Digital PR Challenge: Crisis Communication, di mana peserta diajak mensimulasikan penanganan krisis secara langsung. Latihan ini memperlihatkan bahwa strategi bertahan di tengah cancel culture bukan soal membela diri secara agresif, melainkan membangun kejelasan sikap, empati publik, dan kredibilitas yang konsisten.

Lebih dari sekadar membahas cara “selamat” dari krisis, KHM Vol. 5 menekankan bahwa manajemen krisis adalah proses pembelajaran. Cancel culture, sekeras apa pun dampaknya, dapat menjadi titik balik untuk memperbaiki sistem, memperkuat nilai, dan membangun ulang kepercayaan publik secara lebih autentik.

Baca Juga: Lebih dari Sekadar Boikot: Bagaimana Cancel Culture Membentuk Iklim Sosial

Dengan dukungan berbagai komunitas dan praktisi kehumasan, Kelas Humas Muda kembali menegaskan perannya sebagai ruang tumbuh bagi SDM komunikasi publik yang adaptif, kritis, dan siap menghadapi tantangan reputasi di era global yang serba transparan.

Load More