Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil menilai, program bela negara yang bakal diberlakukan pemerintah dengan melibatkan masyarakat dianggap bisa membebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Anggota koalisi, Direktur Program Imparsial Al Araf mengungkapkan, beban terhadap APBN ini menyusul target pelibatan 100 juta warga untuk ikut program bela negara.
Ketimbang mempratikkan program itu, Al Araf menyarankan agar menambal anggaran pertahanan dan pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista.
"itu artinya negara masih memiliki kekurangan anggaran untuk mendukung persenjataan TNI dan kesejahteraan prajurit sebagai komponen utama sistem pertahanan. Pembentukan bela negara oleh Kementerian Pertahanan dengan target 100 juta warga negara, jelas akan menjadi beban bagi anggaran negara dan anggaran pertahanan," kata Al Araf dalam konfrensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu (14/10/2015).
Menurut dia, program bela negara ini bernuansa wajib militer, meski Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan hal itu bukan wajib militer. Sebab hal itu terlihat dari pernyataan Menhan yang mengatakan warga negara yang tidak suka bela negara wajib hengkang dari Indonesia.
Hal ini sama dengan periode Pemerintahan yang lalu, yang ketika itu mengajukan konsep komponen cadangan yang secara substansi merupakan wajib militer sebagai mana tertuang dalam RUU tentang komponen cadangan.
"Rasa nasionalisme jangan dimaknai secara sempit berupa bentuk militerisasi sipil melalui pendidikan dan pelatihan dasar kemiliteran yang dicanangkan Menhan dalam bela negara itu. Bela negara harus dimaknai sebagai bentuk dan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun negara yang lebih maju dan demokratis," terangnya.
Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik KontraS, Putri Kanesia menambahkan, seharusnya Kemenhan fokus untuk pembangunan kekuatan utama yakni TNI dan bukan membentuk bela negara.
Dalam konsep perang modern (modern warfare), pembangunan kekuatan pertahanan lebih menitik beratkan pada komponen utamanya yakni militer dengan penguatan teknologi pertahanan dan peningkatan kualitas tentara yang profesional.
"Kini sebagian besar negara-negara yang memiliki wajib militer sudah menghapus kebijakannya tuk wajib militer. Dan mereka lebih menekankan penguatan komponen utamanya, militer melalui peningkatan teknologi persenjataan dan penciptaan tentara yang profesional," tandasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Serum Vitamin C yang Bisa Hilangkan Flek Hitam, Cocok untuk Usia 40 Tahun
- 5 Mobil Diesel Bekas Mulai 50 Jutaan Selain Isuzu Panther, Keren dan Tangguh!
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- Harta Kekayaan Abdul Wahid, Gubernur Riau yang Ikut Ditangkap KPK
- 5 Mobil Eropa Bekas Mulai 50 Jutaan, Warisan Mewah dan Berkelas
Pilihan
-
Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
-
Korban PHK Masih Sumbang Ratusan Ribu Pengangguran! Industri Pengolahan Paling Parah
-
Cuma Mampu Kurangi Pengangguran 4.000 Orang, BPS Rilis Data yang Bikin Kening Prabowo Berkerut
-
Rugi Triliunan! Emiten Grup Djarum, Blibli PHK 270 Karyawan
-
Angka Pengangguran Indonesia Tembus 7,46 Juta, Cuma Turun 4.000 Orang Setahun!
Terkini
-
Gubernur Riau Jadi Tersangka KPK! Kemendagri Siapkan Pengganti Sementara
-
Pramono Anung Rombak Birokrasi DKI: 1.842 Pejabat Baru, Janji Pelayanan Publik Lebih Baik
-
Gubernur Riau Jadi Tersangka, PKB Proses Status Kader Abdul Wahid Secara Internal
-
Raperda KTR DKI Disahkan! Ini Titik-Titik yang Dilarang untuk Merokok dan Jual Rokok
-
BNN Gerebek Kampung Bahari, 18 Orang Ditangkap di Tengah Perlawanan Sengit Jaringan Narkoba
-
KPK Kejar Korupsi Whoosh! Prabowo Tanggung Utang, Penyelidikan Jalan Terus?
-
Ahli Hukum Nilai Hak Terdakwa Dilanggar dalam Sidang Sengketa Tambang Nikel Halmahera Timur
-
Cak Imin Instruksikan BGN Gunakan Alat dan Bahan Pangan Lokal untuk MBG
-
MRT Siapkan TOD Medan Satria, Bakal Ubah Wajah Timur Jakarta
-
Masih Nunggak, Kejagung Sita Aset Musim Mas dan Permata Hijau Group