Maqdir Ismail kuasa hukum mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino menilai dasar penetapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disampaikan dalam sidang pra peradilan membingungkan.
“Undang-Undang tentang kerugian negara ini harus jelas, nyata dan pasti. Tidak bisa hanya berdasarkan potensi. Potensi itu bisa ya bisa tidak. Jadi seharusnya yang diikuti KPK untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan korupsi harus nyata dan pasti sesuai dengan UU Keuangan Negara,” tuturnya dalam pernyataan resmi, Selasa (19/1/2016).
Maqdir menjelaskan dalam Pasal 1 butir 22 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mensyaratkan adanya kerugian negara yang benar-benar nyata. “Kalau hanya potensi, itu masih memakai UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang lama.”
Dia melanjutkan dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil dimana unsur dapat merugikan keuangan negara diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung.
Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting, tukasnya.
Sehingga dalam delik formil kerugian negara dipandang sebagai unsur pokok sehingga suatu keputusan bisnis di BUMN yang mana dalam tiap keputusan terdapat resiko tentu jadinya jika keputusan tersebut ternyata berujung pada kerugian, seakan otomatis dapat dianggap sebagai perbuatan korupsi.
“Namun dalam perjalanannya UU No 31/1999 yang dasarnya delik formil sebagian sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No : 003/PUU-IV/2006. Masa UU yang sudah dibatalkan masih dipakai?”
Maqdir mengingatkan jika KPK menuduh adanya korupsi dalam pengadaan 3 (tiga) unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) tahun 2010 dengan ranah kerugian negara ternyata seluruh data yang dimiliki justru sebaliknya dimana efisiensi dan keuntungan yang didapatkan ketika putusan pembelian alat dilakukan RJ Lino.
Berita Terkait
-
Sempat Kabur Saat Kena OTT, Gubernur Riau Ditangkap KPK di Kafe
-
KPK Tangkap Gubernur Riau, PKB 'Gantung' Status Abdul Wahid: Dipecat atau Dibela?
-
Tenaga Ahli Gubernur Riau Serahkan Diri, KPK Periksa 10 Orang Terkait OTT
-
Gubernurnya Tertangkap KPK, Riau Masuk Provinsi Terkorup di Indonesia
-
KPK Sita Uang Miliaran Rupiah dalam OTT Gubernur Riau Abdul Wahid
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
-
Nova Arianto Ungkap Biang Kerok Kekalahan Timnas Indonesia U-17 dari Zambia
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
-
Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
-
Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
Terkini
-
OTT KPK di Riau! Gubernur dan Kepala Dinas Ditangkap, Siapa Saja Tersangkanya?
-
KPK Sebut OTT di Riau Terkait dengan Korupsi Anggaran Dinas PUPR
-
Polisi Berhasil Tangkap Sindikat Penambangan Ilegal di Taman Nasional Gunung Merapi
-
600 Ribu Penerima Bansos Dipakai Judi Online! Yusril Ungkap Fakta Mencengangkan
-
Pemerintah Segera Putihkan Tunggakan Iuran BPJS Kesehatan, Catat Waktunya!
-
Pengemudi Ojol Jadi Buron Usai Penumpangnya Tewas, Asosiasi Desak Pelaku Serahkan Diri
-
Sempat Kabur Saat Kena OTT, Gubernur Riau Ditangkap KPK di Kafe
-
Targetkan 400 Juta Penumpang Tahun 2025, Dirut Transjakarta: Bismillah Doain
-
Sejarah Terukir di Samarkand: Bahasa Indonesia Disahkan sebagai Bahasa Resmi UNESCO
-
Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Koalisi Sipil Ungkap 9 Dosa Pelanggaran HAM Berat Orde Baru