Suara.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter mengatakan supaya KPK tidak mengikuti proses yang dilaksanakan oleh Panita Khusus Angket KPK. Sebab, proses pembentukan Pansus Angket KPK dianggap belum jelas.
Lalola menambahan, ketika KPK tetap mengikuti proses yang dilakukan Pansus Angket KPK ini, hal itu bisa memberikan preseden buruk bagi penegak hukum lainnya. Karena itu, Lalola berharap supaya KPK tidak mengikuti proses ini.
"Kami mendukung agar KPK tidak datang terhadap panggilan yang dilakukan pansus angket, sudah dasarnya tidak jelas, ilegitimate. Kalau KPK datang itu akan jadi preseden buruk bukan hanya untuk KPK tapi penegak hukum lainnya. Ini menunjukan bahwa arogansi di level politik praktis bisa mengintervensi pemberantasan penegakan hukum. Kita harus jaga-jaga supaya ini tdak terulang," kata Lalola di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Minggu (18/6/2017).
Di sisi lain, Lalola meminta supaya masyarakat terus memantau partai politik yang turun langsung dalam proses Pansus Angket KPK ini. Setidaknya ada tujuh partai politik yang bergabung dalam Angket ini, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Hanura, Nasdem, PPP dan PAN.
Lalola juga mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak memilih kembali calon legislatif yang berasal dari partai politik tersebut. Sebab, sikap partai politik ini tidak sejalan dengan pemberantasan korupsi.
"Kita kan jadi aneh kalau misalnya lembaga pembentuk hukum tapi tidak paham sama sekali dengan hukum. Kalau dari mekanisme hukum, ini tidak sah. Ya tapi orang ini tetap melanjutkan ya ini membuat agar calon-calon pemilih nanti yang nanti ketemu lagi dan jadi caleg itu jangan dipilih. Karena pola pikirnya tidak runut, dia yang bentuk uu dan menyalahi kembali," tutur dia.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III pada Rabu (19/4/2017) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S. Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.
Nama-nama anggota Komisi III itu, menurut Novel, adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa.
Pansus angket KPK yang dipimpin oleh Agun Gunandjar, didampingi oleh Risa Marisa, Taufiqulhadi, dan Dossy Iskandar menjadwalkan susunan rencana kerjanya. Agenda pertama, akan memanggil politikus politikus Hanura Miryam setelah rapat paripurna pada Senin (19/6/2017).
"Kita akan memanggil pertama kali untuk konfirmasi adalah Ibu Miryam," kata Taufiqulhadi usai rapat internal pansus angket KPK, Rabu (14/6/2017).
Pemanggilan ini dilakukan untuk mengonfirmasi surat dari Miryam yang mengaku tidak ditekan oleh sejumlah anggota DPR. Surat ini disampaikan dalam rapat perdana pansus angket KPK yang memutuskan susunan pimpinan pansus.
Miryam merupakan tersangka pemberi keterangan palsu di persidangan terkait perkara korupsi pengadaan e-KTP. Miryam sendiri sekarang sudah di rumah tahanan KPK.
"Kita mengajukan surat ke KPK agar Bu Miryam bisa hadir ke sini, kami silakan KPK setuju atau tidak," ujarnya.
Surat Miryam dikirimkan ke pansus angket KPK beberapa waktu lalu dan diterima Masinton Pasaribu. Surat ditulis dengan tangan dan ditandatangani serta diberikan materai Rp6000.
"Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama Miryam, dengan ini saya menyatakan bahwa saya tidak merasa ditekan atau diancam oleh Bapak Bambang Soesatyo, Bapak Azis S, Bapak Masinton Pasaribu, Bapak Syarifuddin Sudding dan Bapak Desmond terkait pencabutan BAP saya pada persidangan tanggal 23 Maret tahun 2017 dan 30 Maret 2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto.
Demikian surat pernyataan ini dengan sebenarnya dan tanpa ada paksaan."
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
Terkini
-
Diduga Lakukan Pemerasan hingga Ratusan Juta, Kajari dan Kasi Intel Kejaksaan Negeri HSU Ditahan KPK
-
Gak Perlu Mahal, Megawati Usul Pemda Gunakan Kentongan untuk Alarm Bencana
-
5 Ton Pakaian Bakal Disalurkan untuk Korban Banjir dan Longsor Aceh-Sumatra
-
Kebun Sawit di Papua: Janji Swasembada Energi Prabowo yang Penuh Risiko?
-
Bukan Alat Kampanye, Megawati Minta Dapur Umum PDIP untuk Semua Korban: Ini Urusan Kemanusiaan
-
Tak Mau Hanya Beri Uang Tunai, Megawati Instruksikan Bantuan 'In Natura' untuk Korban Bencana
-
Jaksa Bongkar Akal Bulus Proyek Chromebook, Manipulasi E-Katalog Rugikan Negara Rp9,2 Miliar
-
Mobil Ringsek, Ini 7 Fakta Kecelakaan KA Bandara Tabrak Minibus di Perlintasan Sebidang Kalideres
-
Giliran Rumah Kajari Kabupaten Bekasi Disegel KPK
-
Seskab Teddy Jawab Tudingan Lamban: Perintah Prabowo Turun di Hari Pertama Banjir Sumatra