Suara.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tetap tidak menyetujui usulan sejumlah pihak mengenai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait revisi UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku tidak akan menerbitkan Perppu terhadap revisi UU KPK yang disahkan dalam rapat Paripurna DPR 17 September 2019. Revisi UU KPK itu sendiri ditolak banyak pihak karena dinilai hanya akan melemahkan lembaga antikorupsi itu.
"Kalau menurut saya pakai mekanisme di MK (Mahkamah Konstitusi) saja, tidak perlu Perppu," kata Yasonna di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Rabu (25/9/2019).
KPK sendiri sudah menganalisis revisi UU KPK tersebut dan menemukan 26 persoalan di dalamnya.
"Kan sudah saya bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional, lewat MK dong. Masa kita main paksa-paksa? Sudahlah. Kita hargai mekanisme konstitusional kita kecuali kita tidak menganggap negara ini negara hukum lagi," ucap Yasonna.
Revisi UU KPK itu sendiri berlangsung sangat singkat yaitu 13 hari dimulai dari 3 September 2019 DPR menyetujui usulan revisi UU KPK yang diusulkan Baleg DPR. Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) pada 11 September 2019 dan rapat paripurna mengesahkannya pada 17 September meski KPK belum pernah diajak berdiskusi mengenai UU tersebut.
"Ya sudahlah kita tahulah itu bagaimana caranya sudahlah, kan sudah viral juga ceritanya itu. Nggak usahlah, sudah. kita tunduk pada hukum, kalau kita menegakkan hukum ya tunduk pada hukum," ungkap Yasonna.
Yasonna mengaku bahwa tidak ada alasan mendesak bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu UU KPK.
"Perppu alasan apa? Jangan dibiasakan, Imam Putra Sidin juga mengatakan janganlah membiasakan cara-cara begitu, berarti dengan cara itu mendeligitimasi lembaga negara, seolah-olah tidak percaya pada MK. Itulah makanya dibuat MK, bukan cara begitu. itu tidak elegan lah," ujar Yasonna.
Baca Juga: Tentukan nasib Pegawai KPK, BKN Masih Pelajari UU
Dalam Pasal 22 UUD RI 1945 menyebutkan perppu mempunyai fungsi dan muatan yang sama dengan undang-undang dan hanya berbeda dari segi pembentukannya saja karena dibentuk oleh Presiden, namun tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat karena ada suatu hal yang sangat genting.
KPK menyebutkan setidaknya ada 26 masalah dari revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK yaitu pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus, dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.
Selanjutnya standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK, dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Kemudian, salah satu pimpinan KPK pasca-UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun, pemangkasan kewenangan penyelidikan, pemangkasan kewenangan penyadapan, operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.
Berikutnya, ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
Selanjutnya, pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN, terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
Kemudian, jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara, diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.
Berikutnya, terdapat pertentangan sejumlah norma, hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik, KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara, tidak ada penguatan dari aspek pencegahan, dan kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi. (Antara)
Berita Terkait
-
Tentukan nasib Pegawai KPK, BKN Masih Pelajari UU
-
Anies Klaim Tanggung Biaya Pengobatan 273 Mahasiswa Korban Demo DPR
-
Anggota BPK RI Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Suap Air Minum Bencana
-
YLBHI Sebut 50 Lebih Mahasiswa Hilang Kontak Usai Demo di Depan Gedung DPR
-
Pelajar STM Timpuki Anggota Polisi di DPR
Terpopuler
- Kecewa Kena PHP Ivan Gunawan, Ibu Peminjam Duit: Kirain Orang Baik, Ternyata Munafik
- Nasib Maxride di Yogyakarta di Ujung Tanduk: Izin Tak Jelas, Terancam Dilarang
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
- Gibran Dicap Langgar Privasi Saat Geledah Tas Murid Perempuan, Ternyata Ini Faktanya
Pilihan
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
-
Dukungan Dua Periode Prabowo-Gibran Jadi Sorotan, Ini Respon Jokowi
-
Menkeu Purbaya Putuskan Cukai Rokok 2026 Tidak Naik: Tadinya Saya Mau Turunin!
Terkini
-
Di Panggung Muktamar, Mardiono Minta Maaf dan Akui Gagal Bawa PPP Lolos ke Parlemen
-
Anggota TNI Ngamuk di Gowa, Kapuspen TNI: Kami akan Perkuat Pengawasan!
-
Revisi RUU BUMN Bergulir di DPR, PKB Ingatkan Jangan Hilangkan Prinsip Pasal 33 UUD 1945
-
Silsilah Keluarga Prabowo Subianto: Kakek Nenek Dimakamkan di Belanda
-
Pulang dari PBB, Prabowo Bawa Kabar Baik, Optimistis Solusi Gaza Segera Terwujud
-
Profil Nanik S Deyang: Petinggi BGN Nangis Bongkar Borok Politisi Minta Proyek MBG
-
Pendidikan Nanik S Deyang: Mantan Jurnalis yang Kini Jadi Petinggi Program MBG
-
Ironi di Muktamar X PPP; Partai Islam Ricuh, Waketum: Bagaimana Mau Mendapat Simpati Umat?
-
Kementerian BUMN Turun Kasta Jadi Badan, Bagaimana Nasib ASN dan Pegawainya?
-
Cara Ikut Daftar Komunitas Ojol Kamtibmas, Rekam Kejahatan Bonusnya Rp500 Ribu Per Orang