Suara.com - Sejumlah pemerintah di Eropa—termasuk Inggris dan Belanda—yang sedang menangani penyebaran virus corona Covid-19, mengatakan sedang membicarakan kemungkinan cara ketiga untuk menghentikan penyebaran.
Sekarang ini yang sudah dilakukan adalah social distancing, meminta warga untuk menjaga jarak saat satu sama lain. Cara lainnya adalah dengan memberlakukan lockdown alias penguncian.
Allternatif ketiga yang disebut sebagai pilihan terakhir adalah membiarkan warga terkena virus tersebut sehingga akan menciptakan "kekebalan massal".
Dalam istilah ilmiah, pendekatan ini disebut 'herd immunity' yang diperkirakan bisa menghentikan penyebaran virus guna mencegah korban lebih besar.
Pendekatan 'herd immunity' sudah disampaikan oleh Sir Patrick Vallance, penasihat utama bidang sains pemerintah Inggris.
Dalam wawancara tanggal 13 Maret lalu, Sir Patrick mengatakan salah satu hal penting yang bisa diilakukan Inggris adalah membangun kekebalan massal.
"Dengan banyak warga yang kebal terhadap virus tersebut, warga tidak bisa menyebarkan lagi," kata Sir Patrick Valllance seperti diberitakan ABC.
Swedia dilaporkan tidak lagi mengeluarkan laporan mengenai tingkat penyebaran di negaranya, hanya melakukan tes terhadap staf rumah sakit dan kelompok yang beresiko tinggi.
"Tujuan utama kami adalah memperlambat penyebaran infeksi semaksimal mungkin, dan membangun semacam kekebalan di kalangan masyarakat," kata Anders Tegnell, kepala bidang penyakit menular Swedia.
Baca Juga: Pandemi Corona Masih Berjalan, Warga Disarankan Tunda Perjalanan Mudik
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte mengatakan lockdown mungkin tidak akan efektif di negaranya.
Dia mengatakan, Belanda akan melakukan kontrol terhadap penyebaran COVID-19 di kalangan warga yang paling berisiko bila terkena.
Ditentang para ilmuwan
Namun, pendekatan untuk membiarkan warga terkena virus coroa agar menciptakan kekebalan massal ditentang beberapa ilmuwan di Inggris dan Australia, karena dianggap sebagai pendekatan yang berbahaya.
Bagaimana sebenarnya pendekatan kekebalan massal itu dan mengapa menimbulkan kontroversi?
Secara teori herd immunity ini bisa menghentikan wabah.
Kekebalan massal artinya sebagian besar penduduk akan terkena sebuah penyakit dan kemudian mereka sembuh dan menjadi kebal karenanya.
Dengan itu penyebaran menjadi berkurang karena semakin sedikit mereka yang terinfeksi oleh virus tersebut.
Ini dianggap sebagai salah satu cara memerangi pademik, selain dengan memisahkan orang per orang, melakukan pemeriksaan dan melacak pergerakan orang dan juga membuat vaksin.
Para sejarawan mengatakan, gelombang kedua pandemik flu di Spanyol di tahun 1918 menimbulkan korban paling besar, karena ketika di gelombang pertama, hanya sedikit orang yang memiliki kekebalan.
Sir Patrick Vallance, kepala penasehat masalah sains di Inggris mengatakan, kekebalan massal akan mencegah bila virus corona menghilang dan kemudian muncul lagi.
Sir Patrick mengatakan, sekitar 60 persen warga Inggris atau sekitar 36 juta orang harus tertular Covid-19 untuk membuat cara ini bekerja.
Setelah muncul pernyataan tersebut, pemerintah Inggris mengatakan tidak mendukung pendekatan tersebut setelah munculnya berbagai kecaman dari para ilmuwan.
"Herd immunity [kekebalan massal] bukanlah tujuan atau kebijakan kami. Itu adalah konsep ilmiah. Kebijakan kami adalah melindungi warga dan mengalahkan virus," kata Menteri Kesehatan Inggris, Matt Hancock.
Bisakah memerangi virus corona?
Para ilmuwan dengan cepat menyampaikan fakta bahwa belum ada kejelasan mereka yang sembuh dari COVID-19 kemudian menjadi kebal.
Pihak berwenang Jepang mengatakan tanggal 16 Maret lalu bahwa seorang pria yang sudah dites positif COVID-19 sebelumnya, kemudian terjangkit lagi beberapa minggu kemudian.
Namun kemungkinannya karena pengujian yang salah.
Diego Silva, dosen ilmu bioetika di University of Sydney mengatakan sampai sekarang masih banyak yang belum mengetahui mengenai virus tersebut dan bagaimana reaksi tubuh kita.
"Membiarkan virus menyebar di negeri kita tanpa kita tahu apakah orang akan kebal dan seberapa lama kekebalan itu akan muncul, bila ada wabah Covid-19 kedua, adalah hal yang sangat berisiko," katanya.
Strategi menghentikan COVID-19?
Kebanyakan ilmuwan sepakat bahwa pendekatan yang harus dilakukan sekarang ini haruslah beberapa cara, seperti social distancing, penutupan perbatasan dan menemukan vaksin.
"Dengan adanya wabah penyakit menular, khususnya yang menyangkut saluran pernapasan seperti virus corona, tujuan utama adalah menciptakan kekebalan massal," kata Dr Silva dari University of Sydney.
Tetapi Dr Silva mengatakan vaksin yang mungkin masih memerlukan waktu 18 bulan untuk dibuat adalah alternatif terbaik dan paling aman.
"Hal yang bisa dilakukan adalah menyediakan vaksin untuk membentuk kekebalan warga. Cara lain adalah membiarkan virus ini menyebar dengan liar," katanya.
Professor Angus Dawson dari University of Sydney mengatakan diskusi mengenai kekebalan massal telah membingungkan warga.
Pemerintah manapun menurutnya lebih baik mengkonsentrasikan diri ke aksi terkooordinasi.
"Kita harus menerapkan pemisahan jarak antar warga yang lebih ketat dibandingkan yang sudah ada sekarang," katanya.
"Pandemik ini adalah ancaman kesehatan serius. Melindungi mereka yang paling lemah harus menjadi prioritas tertinggi dan bukan berbicara mengenai hal yang masih jadi teori."
Pemisahan orang atau 'social distancing' adalah untuk melindungi mereka yang lemah dan bisa mengurangi pandemik terjadi dalam masa yang pendek dengan korban besar.
Social distancing bisa membantu sistem layanan kesehatan untuk tidak kewalahan dan membantu kekebalan massal dalam waktu yang lebih panjang dan lebih terkontrol.
Berita Terkait
-
Bila Mitra Gojek Positif COVID-19, Tersedia Bantuan Pendapatan
-
Staf Wafat Dicurigai COVID-19, BNI Kramat-Jakarta Pusat Tutup Sementara
-
Lawan Corona, Rachel Vennya Berhasil Galang Dana Milyaran
-
Dampak Virus Corona, Tersanjung The Movie Batal Tayang Besok
-
Hits: 5 Virus Paling Mematikan, Alasan Covid-19 Jadi Bencana Nasional
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
Terkini
-
Terbongkar! Bisnis Pakaian Bekas Ilegal Rp669 M di Bali Libatkan Warga Korsel, Ada Bakteri Bahaya
-
Mendagri Tegaskan Peran Komite Eksekutif Otsus Papua: Sinkronisasi Program Pusat dan Daerah
-
Prabowo ke Menteri: Tenang Saja Kalau Dimaki Rakyat, Itu Risiko Pohon Tinggi Kena Angin
-
Bahlil Lapor ke Prabowo Soal Energi Pasca-Bencana: Insyaallah Aman Bapak
-
Manuver Kapolri, Aturan Jabatan Sipil Polisi akan Dimasukkan ke Revisi UU Polri
-
KPK Geledah Rumah Plt Gubernur Riau, Uang Tunai dan Dolar Disita
-
Bersama Kemendes, BNPT Sebut Pencegahan Terorisme Tidak Bisa Dilaksanakan Melalui Aktor Tunggal
-
Bareskrim Bongkar Kasus Impor Ilegal Pakaian Bekas, Total Transaksi Tembus Rp668 Miliar
-
Kasus DJKA: KPK Tahan PPK BTP Medan Muhammad Chusnul, Diduga Terima Duit Rp12 Miliar
-
Pemerintah Aceh Kirim Surat ke PBB Minta Bantuan, Begini Respons Mendagri