Suara.com - Donald Trump selaku Presiden Amerika Serikat mengatakan akan menghentikan pendanaan untuk WHO. Rencana itu muncul karena WHO dinilai gagal menjalankan tugas utamanya dalam menangani pandemi virus corona.
Lantas, sebenarnya apa itu WHO dan apa yang WHO kerjakan?
Markas besar kesehatan global
WHO adalah singkatan dari World Health Organization atau Organisasi Kesehatan Dunia.
Markas WHO ada di Jenewa, di bagian depan markasnya terdapat 194 bendera bendera anggota organisasi ini.
Markas WHO di Jenewa ini merupakan markas koordinasi respons global pandemi yang disebut sebagai ujian terbesar bagi dunia sejak Perang Dunia Kedua.
Laporan BBC News Indonesia -- Jaringan Suara.com, lembaga kesehatan PBB ini didirikan tahun 1948 dan digambarkan sebagai “penjaga kesehatan masyarakat global”.
Tujuannya adalah: “kesehatan tertinggi yang mampu dicapai manusia, untuk semuanya”.
Ini tugas mahaberat.
Baca Juga: Serahkan Seluruh Tabungan ke Kang Emil, Anak Petani: Buat Beli Masker
Selama 11 tahun terakhir, WHO telah menyelia respons global terhadap enam darurat kesehatan global, termasuk wabah Ebola di Afrika Barat tahun 2014, wabah Zika tahun 2016 dan kini pandemi Covid-19.
Mereka juga:
- Memutuskan kapan harus membunyikan 'alarm global' semasa wabah
- Menetapkan rencana riset dan pengembangan skala global untuk mencari cara perawatan dan vaksin
- Mengirim ahli ke pusat penyakit untuk mendapatkan data agar bisa memahami lebih jauh
WHO juga memiliki tanggung jawab luas terkait kesehatan, termasuk:
- Menangani epidemi global obesitas dan diabetes
- Mengurangi kematian di lapangan
- Menghapuskan penyakit yang bisa diatasi oleh vaksin, seperti polio
- Berusaha mengurangi jumlah kematian ibu dan anak dalam persalinan
Tetapi perlu digarisbawahi, WHO hanyalah lembaga penasihat.
Mereka bisa membuat rekomendasi bagi negara-negara anggota mengenai apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesehatan warga dan mencegah penyebaran wabah penyakit.
Mereka tidak punya kekuatan memaksa rekomendasi tersebut.
Apakah WHO keliru menangani pandemi Covid-19?
Tergantung Anda bertanya kepada siapa.
Kalau bertanya kepada Donald Trump, jawabannya pasti ya.
Tapi Trump sendiri dihujani kritik tentang cara ia menghadapi wabah Covid-19 di AS, yang kini sudah ada 32.000 kematian.
Ia juga sedang menghadapi pertarungan geopolitik dengan China, yang sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19.
Trump bukan satu-satunya yang mengkritik pujian WHO terhadap China dalam menangani wabah ini. Terutama terkait perlakuan China terhadap tenaga medis yang dibungkam di awal penyebaran virus.
Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, direktur jendral WHO, berulangkali menyatakan ia bergeming soal pujiannya terhadap China.
Katanya, respons China terhadap wabah itu telah membantu perlambatan penyebaran virus itu secara global, memberi waktu bagi negara-negara lain untuk menyiapkan diri.
Dr. Ghebreyesus dan beberapa ilmuwan lain, juga menekankan bahwa China bersedia secara sukarela memberi kode genetik virus itu dengan cepat, sehingga banyak negara bisa segera melakukan tes diagnosa dan mengembangkan vaksin.
Sekalipun begitu, kritik terhadap China cukup luas.
Devi Sridhar, profesor bidang kesehatan masyarakat global di University of Edinburgh, mengatakan: "China tidak mengabarkan pada dunia saat wabah baru memasuki tahap awal. Jelas ada penundaan.
"Mereka mencoba mengecil-ngecilkan wabah ini di fase-fase awalnya."
Prof. Sridhar yang menyelidiki mengenai tanggapan WHO terhadap wabah Ebola di Afrika Barat, menyebut dirinya sebagai “pengkritik terkeras” WHO.
Ia menambahkan: "Sulit untuk menimpakan seluruh kesalahan pada upaya yang dilakukan oleh WHO mengingat mereka harus seimbang antara membuat negara-negara anggota serius menangani wabah ini, di sisi lain harus tetap membuat semua mau bekerja sama”.
Sebagian besar peran WHO adalah diplomasi. Mereka tak bisa memaksa negara anggota untuk memberi informasi terkait wabah, dan hanya bisa mengandalkan kesukarelaan.
Prof Sridhar mengatakan WHO bisa meraih popularitas seandainya Dr. Ghebreyesus sejak awal mengutuk China atas kelambatan respons di fase awal wabah. Namun, kata Prof. Sridhar, itu bisa menghalangi respons global terhadap Covid-19.
"Apa yang bisa didapat dari sana? Ia tetap perlu meminta China untuk membagikan data."
Prof Sridhar yakin WHO di belakang layar menekan China untuk lebih berterus terang di masa-masa awal wabah.
"Menurut saya, ada perbedaan besar dalam diplomasi, antara mengerjakan sesuatu di depan umum dengan media – yang terkadang hanya performa saja – dan melakukan sesuatu dengan diam-diam tetapi sungguh-sungguh berhasil mencapai sesuatu."
Apa dampak yang bisa ditimbulkan dari langkah yang diambil Trump?
Amerika Serikat merupakan donor terbesar WHO, organisasi yang dananya mengandalkan kombinasi iuran anggota – tergantung kekayaan dan jumlah penduduk – dan sumbangan sukarela.
Sumbangan sukarela ini merupakan sumber terbesar dari keseluruhan US$2,2 miliar anggaran tahunan WHO.
Tahun lalu, AS memberi lebih dari US$400 juta.
Dr. Jeremy Farrar, Direktur Wellcome Trust, Inggris, mengatakan WHO membutuhkan "lebih banyak sumber daya" untuk mengatasi pandemi.
"Kita sedang menghadapi tantangan terbesar dalam kehidupan kita bersama. Tak ada organisasi lain yang bisa mengerjakan apa yang dikerjakan WHO sekarang ini.
"Ini adalah saatnya solidaritas, bukan perpecahan."
Prof Sridhar mengatakan langkah AS itu bisa merugikan diri mereka sendiri.
"Jika WHO terdampak oleh langkah ini, maka kemampuan mereka dalam merespons Covid-19, juga penyakit lain seperti malaria dan TB ikut terkena akibatnya. Dan kita akan melihat kebangkitan kembali penyakit-penyakit ini yang kita pikir sudah berhasil kita atasi," kata Prof Sridhar menjelaskan.
Berita Terkait
-
The Fed Pangkas Suku Bunga, Apa Dampaknya Terhadap Perbankan Indonesia?
-
Gara-gara Ini, Harga Mobil Jepang dan Korsel Naik 15 Persen
-
FBI Gelar Sayembara Tangkap Penembakan Charlie Kirk, Dapat Hadiah Uang Tunai Rp 1,65 Miliar
-
Profil Charlie Kirk, Anak Emas Donald Trump yang Tewas Ditembak Saat Berpidato
-
Charlie Kirk Ditembak Siapa? Tewas saat Pidato di Kampus Utah, Donald Trump Berduka
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO