News / Nasional
Rabu, 19 Agustus 2020 | 10:42 WIB
Saiful Mujani [Dokumentasi Saifulmujani.com]

Suara.com - Populisme Islam mengancam kebhinnekaan Indonesia sebagai negara-bangsa dan menurunkan kualitas demokrasi.

Populisme ini tidak hanya datang dari kelompok politik agama, melainkan juga kelompok nasionalis.

Demikian salah satu kesimpulan yang muncul dalam orasi kebangsaan Saiful Mujani  yang diselenggarakan dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia dan Dies Natalis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baru-baru ini.

“Terlepas dari sejumlah kekurangan di sana-sini,” kata Saiful, “bangsa Indonesia cukup berhasil dalam pembangunan politik yang relevan dengan kebhinnekaan sejak peralihan dari rezim orde baru ke orde reformasi.”

Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting itu mengatakan, sejak 1998, demokrasi Indonesia mengalami kemajuan, terutama dalam aspek hak-hak politik.

Tapi dalam enam tahun terakhir mengalami sedikit kemunduran dalam hal-hal yang banyak berkaitan dengan kebinnekaan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Menurut Saiful Mujani persoalan utama yang menurunkan kualitas kebebasan sipil yang terkait dengan kebhinnekaan adalah munculnya apa yang disebut sebagai islamisasi.

Namun demikian, Saiful Mujani menegaskan bahwa islamisasi pada level keluarga dan individu bukan hal yang perlu dipersoalkan.

“Yang jadi masalah bagi kebinnekaan Indonesia adalah apabila Islamisasi itu merupakan produk kebijakan negara atau pemerintah, meskipun hanya berlaku bagi yang beragama Islam,” kata dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah.

Baca Juga: Mantan Pelatih Timnas Indonesia, Henk Wullems Meninggal Dunia

Dia menambahkan bila itu yang terjadi, maka sesungguhnya Piagam Jakarta kembali hidup dalam demokrasi Indonesia sekarang: sebuah kebijakan negara, pusat atau daerah, yang hanya berlaku bagi orang Islam, dan tidak berlaku bagi non-Islam.

“Kebijakan negara yang demikian adalah kebijakan sektarian dan diskriminatif, mengingkari konstitusi kita yang inklusif terhadap kebinnekaan agama,” kata Saiful Mujani.

Saiful Mujani kemudian mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh Buehler (2013) yang memaparkan bahwa sejumlah kebijakan publik yang eksklusif, hanya mengakomodasi kepentingan satu kelompok Islam (sektarian), mendiskriminasi non-Islam, telah dibuat di banyak daerah.

Dalam kurun waktu 1999-2009, setidaknya ada 169 kebijakan publik di berbagai daerah, provinsi dan kabupaten serta kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah.

Dia menyatakan di banyak negara yang penduduknya mayoritas muslim, upaya membuat kebijakan publik terkait dengan syariat Islam biasanya datang dari wakil rakyat dari partai berideologi Islam.

Tapi kasus Indonesia berbeda karena partai-partai agama (Islam) justru terlalu kecil dibanding partai-partai nasionalis.

Load More