Suara.com - Matahari baru saja beranjak dari atas kepala. Derap kaki kecil Nurul memecah keheningan pesisir utara Jakarta. Tawanya saling bersahutan diterbangkan angin laut yang menyapu debu ke udara.
Siang itu, angin laut pesisir Jakarta jadi karibnya. Dalam sekali hentak, layangan yang terhubung dengan benang dalam genggaman tangan kanannya terbang. Ia melayang ke arah Barat. Tubuh gempal bocah itu terus berlarian mengikuti semilir arah angin.
Di utara tempat Nurul bermain, berdiri gagah tanggul - tanggul beton. Mereka ditancapkan dalam - dalam di bibir pesisir Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Di baliknya deburan ombak laut Jawa terus menghantam dan merangsek. Tidak jarang deburan ombak itu melimpas melewati batas dan celah - celah tanggul yang beberapa mulai keropos. Rangka dinding Masjid Wal Adhuna jadi saksi bisu Jakarta kian tenggelam perlahan.
“Tanggul itu hanya sementara. Hanya sebagai painkiller,” kata Peneliti Geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas di ujung telepon.
Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB ini merupakan salah satu anggota Kelompok Kajian Geodesi. Bersama peneliti lainnya ia meneliti penurunan permukaan tanah di ibu kota yang disebut-sebut menjadi sumber bencana tenggelamnya Jakarta. Heri menyebut bahwa tanggul hanya solusi sementara lantaran, beton - beton tersebut tidak menyelesaikan sumber masalah utama dari tenggelamnya Jakarta.
Dalam riset berjudul ‘Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban development’ Heri menemukan penurunan muka tanah yang bervariasi dengan laju sekitar 1 – 15 cm/tahun. Beberapa lokasi bahkan dapat mengalami laju penurunan permukaan tanah hingga sekitar 20 – 28 cm/tahun.
“Kalau tidak dilakukan intervensi serius lebih lanjut, kemungkinan 75 persen wilayah di Jakarta akan berada di bawah laut pada 2050,” ujar Heri.
Dalam penelitiannya, Heri menemukan bahwa kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara mengalami laju penurunan muka tanah hingga 20 cm meter per tahun. Dalam perhitungannya permukaan tanah di Penjaringan akan turun sedalam 3,5 meter pada tahun 20250.
Situasi ini juga semakin diperparah dengan banjir rob yang sering terjadi di pesisir Jakarta. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Sabtu, (26/8/2023) mengeluarkan peringatan akan potensi banjir rob di pesisir Jakarta sebagai imbas dari fenomena fase bulan purnama (full moon) pada Rabu, (30/8/2023). Terlebih, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim dalam salah satu laporannya juga melaporkan kenaikan permukaan air laut rata-tara 2,5 milimeter setiap tahunnya.
Baca Juga: Anak Buah Erick Thohir Ditangkap Karena Memiliki Senjata Api Ilegal
Nasib anak pesisir: diterjang banjir rob, tenggelam karena penurunan tanah
Jika situasi itu terus terjadi, Nurul yang tinggal hanya sekitar 1 km dari titik tanggul di utara Jakarta akan menjadi yang pertama terdampak dari situasi ini. Dalam skala yang lebih luas hidup sekitar 30 ribu anak di Penjaringan, Jakarta Utara terancam jadi korban bencana yang kini ada di depan mata.
Kondisi itu juga berbanding lurus dengan Indeks Risiko Iklim Anak-Anak yang dikeluarkan oleh UNICEF. Dalam laporan itu Indonesia peringkat 46 di antara negara-negara berisiko tinggi. Analisis terbaru UNICEF untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik menunjukkan bahwa di Indonesia, lebih dari 74 juta anak-anak terpapar polusi udara, lebih dari 28 juta anak-anak terpapar banjir pesisir, lebih dari 15 juta anak terpapar gelombang panas, lebih dari 8 juta anak terkena polusi timbal, hampir 7 juta anak terkena banjir sungai, 3,5 juta anak terkena kelangkaan air, dan 2,2 juta anak terkena angin topan.
“Anak-anak dan keluarga yang kurang beruntung karena kemiskinan dan memiliki sumber daya paling sedikit untuk mengatasi dampak perubahan iklim, kemungkinan besar akan menghadapi bahaya yang paling besar. Karena mereka memiliki sarana yang paling sedikit untuk melindungi diri mereka dari risiko-risiko ini,” ujar Spesialis Komunikasi UNICEF Indonesia, Kinanti Pinta Karana ke Suara.com.
Selain itu, perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan, gizi, pendidikan, dan kesejahteraan anak-anak, khususnya di masyarakat berpenghasilan rendah. Ironisnya, dampak-dampak ini tidak dirasakan secara merata. Anak-anak, meskipun kontribusi mereka terhadap perubahan iklim terbatas, menanggung beban karena berkurangnya kemampuan mereka untuk bertindak atau melindungi diri mereka sendiri.
“Mereka paling terkena dampaknya karena tahap awal perkembangan fisiologis dan kognitif mereka,” kata Pinta.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 7 Rekomendasi HP Murah Memori Besar dan Kamera Bagus untuk Orang Tua, Harga 1 Jutaan
Pilihan
-
Permintaan Pertamax Turbo Meningkat, Pertamina Lakukan Impor
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
Terkini
-
Kunjungi Jepang, Menko Yusril Bahas Reformasi Polri hingga Dukungan Keanggotaan OECD
-
3 Fakta Korupsi Pajak: Kejagung Geledah Rumah Pejabat, Oknum DJP Kemenkeu Jadi Target
-
Warga Muara Angke Habiskan Rp1 Juta Sebulan untuk Air, PAM Jaya Janji Alirkan Air Pipa Tahun Depan
-
Drama Baru Kasus Ijazah Palsu Jokowi: Roy Suryo Cs Gandeng 4 Ahli, Siapa Saja Mereka?
-
MK Larang Polisi Aktif di Jabatan Sipil, Bagaimana Ketua KPK? Ini Penjelasan KPK!
-
Pertikaian Berdarah Gegerkan Condet, Satu Tewas Ditusuk di Leher
-
DPR Kejar Target Sahkan RKUHAP Hari Ini, Koalisi Sipil Laporkan 11 Anggota Dewan ke MKD
-
Siswa SMP di Tangsel Tewas Akibat Perundungan, Menteri PPPA: Usut Tuntas!
-
Klarifikasi: DPR dan Persagi Sepakat Soal Tenaga Ahli Gizi di Program MBG Pasca 'Salah Ucap'
-
Kondisi Terkini Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta: Masih Lemas, Polisi Tunggu Lampu Hijau Dokter