Suara.com - Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China, semakin banyak perusahaan Amerika yang mempertimbangkan atau telah mulai memindahkan operasinya dari negeri Tirai Bambu. Menurut survei tahunan American Chamber of Commerce di China, sebanyak 30% perusahaan AS yang beroperasi di negara tersebut sedang dalam proses relokasi atau mempertimbangkan untuk hengkang. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2020, saat pandemi Covid-19 melanda.
Keputusan perusahaan-perusahaan ini didorong oleh sejumlah faktor, termasuk kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump yang berupaya mendorong reshoring manufaktur ke AS. Dalam pernyataannya di Forum Ekonomi Dunia di Davos pada Januari lalu, Trump menegaskan bahwa perusahaan yang berinvestasi di industri manufaktur AS akan mendapatkan insentif pajak yang lebih rendah.
Sementara itu, ancaman penerapan tarif 10% terhadap impor dari China mulai 1 Februari, jika Beijing tidak menindak ekspor bahan baku fentanyl, semakin memperburuk hubungan dagang kedua negara.
Faktor Ekonomi dan Ketidakpastian Regulasi
Selain tekanan dari kebijakan AS, banyak perusahaan Amerika yang mulai mempertanyakan prospek bisnis mereka di China. Survei American Chamber of Commerce mencatat bahwa lebih dari 50% perusahaan melaporkan kesulitan mencapai keuntungan atau bahkan mengalami kerugian besar pada 2024. Sektor yang paling terdampak adalah sektor konsumsi (60%) dan jasa (57%), sedangkan sektor industri serta teknologi dan riset masing-masing mencatat angka 48% dan 45%.
Dari perusahaan yang telah mulai memindahkan operasinya, sebanyak 17% mengungkapkan bahwa mereka telah mengambil langkah konkret untuk relokasi, meningkat hampir 10% dibandingkan tahun 2020. Konflik perdagangan AS-China menjadi alasan utama bagi 44% perusahaan yang memutuskan hengkang, sementara 38% memilih untuk memindahkan operasinya ke negara-negara berkembang di Asia seperti India, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Sebanyak 18% lainnya memilih untuk kembali ke AS.
Di sisi lain, perusahaan asing di China juga menghadapi hambatan yang semakin besar. Hampir 50% perusahaan di sektor teknologi mengeluhkan bahwa perusahaan lokal mendapat perlakuan istimewa dalam riset dan pengembangan teknologi canggih. Sebanyak 93% perusahaan di sektor yang sama juga menyatakan bahwa keterbatasan akses pasar berdampak pada operasional mereka.
China Tidak Lagi Jadi Prioritas Investasi
Meskipun pemerintah China telah berupaya memperbaiki iklim investasi dengan melonggarkan akses pasar serta kebijakan visa dan investasi, banyak perusahaan Amerika yang mulai melihat China bukan lagi sebagai tujuan investasi utama.
Baca Juga: 5 Fakta Menarik DeepSeek: Teknologi AI China Murah Meriah, Guncang Pasar Saham Dunia
Pada tahun 2024, sebanyak 21% perusahaan AS tidak lagi menganggap China sebagai prioritas investasi mereka. Hal ini diperburuk oleh tindakan keras pemerintah China terhadap perusahaan konsultasi bisnis dan audit asing, yang menambah kekhawatiran di kalangan investor.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi China tidak hanya dirasakan oleh perusahaan AS, tetapi juga oleh investor Eropa. Sebuah laporan dari Kamar Dagang Uni Eropa di China menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Eropa mulai melihat risiko berinvestasi di China sebagai sesuatu yang bersifat permanen.
Sebanyak 44% anggota Kamar Dagang Uni Eropa di China memperkirakan prospek keuntungan yang suram, dipengaruhi oleh isu regulasi, keterbatasan akses pasar, serta ketimpangan dalam kebijakan pengadaan pemerintah.
Sejalan dengan tren ini, negara-negara seperti Jerman juga mulai mempertimbangkan ulang hubungan ekonominya dengan China. Friedrich Merz, kandidat kuat kanselir Jerman, bahkan memperingatkan perusahaan-perusahaan Jerman akan risiko tinggi berbisnis di China, menyebut negara tersebut sebagai bagian dari “poros otokrasi” yang tidak tunduk pada prinsip hukum internasional.
Di tengah eksodus perusahaan-perusahaan asing dari China, India dan negara-negara Asia Tenggara berpotensi menjadi tujuan investasi baru. Baru-baru ini, raksasa teknologi IBM mengumumkan penutupan operasi risetnya di China setelah hampir 25 tahun beroperasi. Laporan menyebutkan bahwa perusahaan ini berencana memperluas operasinya di India.
Dengan semakin banyaknya perusahaan AS dan Eropa yang meninggalkan China, negara-negara seperti India, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia memiliki peluang besar untuk menarik investasi baru. Dalam situasi ini, negara-negara tersebut harus mampu menyediakan kebijakan yang menarik bagi investor untuk memastikan bahwa mereka dapat menjadi pusat pertumbuhan industri global yang baru.
Berita Terkait
-
5 Fakta Menarik DeepSeek: Teknologi AI China Murah Meriah, Guncang Pasar Saham Dunia
-
Kebun Binatang Ini Buka Bisnis Jual Urin Harimau Seharga Rp 111 Ribu, Tertarik Beli?
-
DeepSeek vs. ChatGPT: Siapkah AI Baru Ini Menggeser Sang Raja Chatbot?
-
Kumpulan Diskon dan Promo Imlek 2025, Jajan Murah di Tahun Baru China
-
4 Drama China yang Dibintangi Zhai Xiaowen Mantan Member R1SE
Terpopuler
- Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
- 5 Rekomendasi Bedak Two Way Cake untuk Kondangan, Tahan Lama Seharian
- 5 Rangkaian Skincare Murah untuk Ibu Rumah Tangga Atasi Flek Hitam, Mulai Rp8 Ribuan
- 5 Rekomendasi Sepatu Lari Selain Asics Nimbus untuk Daily Trainer yang Empuk
- 5 Powder Foundation Paling Bagus untuk Pekerja, Tak Perlu Bolak-balik Touch Up
Pilihan
-
10 City Car Bekas untuk Mengatasi Selap-Selip di Kemacetan bagi Pengguna Berbudget Rp70 Juta
-
PSSI Butuh Uang Rp 500 Miliar Tiap Tahun, Dari Mana Sumber Duitnya?
-
Vinfast Limo Green Sudah Bisa Dipesan di GJAW 2025, Ini Harganya
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
Terkini
-
Soal Larangan Rangkap Jabatan, Publik Minta Aturan Serupa Berlaku untuk TNI hingga KPK
-
FPI Gelar Reuni 212 di Monas, Habib Rizieq Shihab Dijadwalkan Hadir
-
Studi INDEF: Netizen Dukung Putusan MK soal Larangan Rangkap Jabatan, Sinyal Publik Sudah Jenuh?
-
FPI Siap Gelar Reuni 212, Sebut Bakal Undang Presiden Prabowo hingga Anies Baswedan
-
Sekjen PDIP Hasto Lari Pagi di Pekanbaru, Tekankan Pentingnya Kesehatan dan Semangati Anak Muda
-
Menag Klaim Kesejahteraan Guru Melesat, Peserta PPG Naik 700 Persen di 2025
-
Menteri PPPA: Cegah Bullying Bukan Tugas Sekolah Saja, Keluarga Harus Turut Bergerak
-
Menteri Dikdasmen Targetkan Permen Antibullying Rampung Akhir 2025, Berlaku di Sekolah Mulai 2026
-
Polisi Tangkap Dua Pengedar Sabu di Bekasi, Simpan Paket 1 Kg dalam Bungkus Teh
-
Mendikdasmen Abdul Muti: Banyak Teman Bikin Anak Lebih Aman di Sekolah