Suara.com - Kerusakan lahan basah global bukan sekadar isu lingkungan. Dalam jangka panjang, dampaknya bisa mengguncang fondasi ekonomi dunia.
Perubahan iklim, eksploitasi lahan, hingga polusi memicu degradasi ekosistem penting ini, yang berfungsi sebagai penyokong perikanan, pertanian, hingga pengendali banjir alami.
Mengutip laporan Konvensi Lahan Basah yang dilansir BBC, dunia terancam kehilangan manfaat ekonomi hingga 39 triliun dolar AS atau sekitar Rp 635 kuadriliun pada 2050 jika kerusakan terus berlanjut.
Kerugian ini berasal dari hilangnya fungsi vital lahan basah dalam penyerapan karbon, pemurnian air, hingga penyimpanan banjir.
Sejak 1970, sekitar 22 persen lahan basah dunia telah hilang—angka yang mencakup sistem air tawar seperti gambut, sungai, dan danau, hingga ekosistem pesisir seperti hutan bakau dan terumbu karang.
Laju kehilangan ini bahkan disebut sebagai yang tercepat di antara semua ekosistem alami.
Penyebab utama kehancuran ini berasal dari perubahan penggunaan lahan, pembangunan yang tidak terkendali, polusi, perluasan pertanian, hingga dampak perubahan iklim seperti naiknya muka air laut dan kekeringan ekstrem.
"Skala kehilangan dan degradasi melampaui apa yang dapat kita abaikan," ujar Hugh Robertson, penulis utama laporan tersebut.
Laporan tersebut juga menyampaikan seruan untuk melakukan investasi tahunan antara 275 hingga 550 miliar dolar AS demi menyelamatkan sisa lahan basah dunia.
Baca Juga: Tak Ada Ole Romeny, Mauro Zijlstra Pun Jadi
Saat ini, dana yang tersedia disebut "sangat kurang" dibandingkan dengan skala kerusakan yang terjadi.
Sejauh ini, dunia telah kehilangan 411 juta hektare lahan basah—setara setengah miliar lapangan sepak bola.
Lebih memprihatinkan lagi, seperempat dari lahan basah yang masih ada kini tergolong dalam kondisi terdegradasi.
Padahal, selain memiliki nilai ekonomi, lahan basah juga menyimpan manfaat ekologis dan budaya.
Mereka mampu menyerap karbon dalam jumlah besar, melindungi wilayah dari badai tropis, dan menyaring air dari polutan.
Salah satu jenisnya, lahan gambut, bahkan menyimpan dua kali lipat karbon dibanding seluruh hutan di dunia.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 4 HP Flagship Turun Harga di Penghujung Tahun 2025, Ada iPhone 16 Pro!
- 5 Moisturizer Murah yang Mencerahkan Wajah untuk Ibu Rumah Tangga
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Nasib 8 ABK di Ujung Tanduk, Kapal Terbakar di Lampung, Tim SAR Sisir Lautan
-
30 Tahun Jadi TPS, Lahan Tiba-tiba Diklaim Pribadi, Warga Pondok Kelapa 'Ngamuk' Robohkan Pagar
-
Baju Basah Demi Sekolah, Curhat Pilu Siswa Nias Seberangi Sungai Deras di Depan Wapres Gibran
-
Mubes NU Tegaskan Konflik Internal Tanpa Campur Pemerintah, Isu Daftarkan SK ke Kemenkum Mencuat
-
Mendagri Bersama Menteri PKP Resmikan Pembangunan Hunian Tetap Korban Bencana di Tapanuli Tengah
-
Percepat Pemulihan Pascabencana, Mendagri Instruksikan Pendataan Hunian Rusak di Tapanuli Utara
-
Jabotabek Mulai Ditinggalkan, Setengah Juta Kendaraan 'Eksodus' H-5 Natal
-
Mubes Warga NU Keluarkan 9 Rekomendasi: Percepat Muktamar Hingga Kembalikan Tambang ke Negara
-
BNI Bersama BUMN Peduli Hadir Cepat Salurkan Bantuan Nyata bagi Warga Terdampak Bencana di Sumatra
-
Relawan BNI Bergabung dalam Aksi BUMN Peduli, Dukung Pemulihan Warga Terdampak Bencana di Aceh