News / Nasional
Jum'at, 26 September 2025 | 16:00 WIB
Analis politik dan pendiri Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens, menegaskan bahwa tuduhan yang menyebut Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo melakukan persekusi terhadap calon Kapolri pilihan Presiden Prabowo Subianto merupakan narasi lemah, tak berdasar, dan berbahaya. [Suara.com/Novian]
Baca 10 detik
  • Upaya Diskreditasi Terhadap Presiden
  • Kecurigaan Manipulasi Politik
  • Penguatan Institusi Kepolisian & Pemerintah

Suara.com - Analis politik dan pendiri Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens, menegaskan bahwa tuduhan yang menyebut Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo melakukan persekusi terhadap calon Kapolri pilihan Presiden Prabowo Subianto merupakan narasi lemah, tak berdasar, dan berbahaya.

Menurut Boni, isu tersebut hanyalah upaya adu domba yang sengaja digulirkan untuk menciptakan kesan seolah-olah terdapat ketegangan antara Presiden dan Kapolri.

Padahal, kenyataannya, Presiden Prabowo dan Kapolri Jenderal Listyo justru solid menjaga stabilitas nasional dan mengawal agenda besar reformasi dan modernisasi Polri.

"Isu ini muncul tanpa dilandasi bukti konkret, lebih banyak berisi sindiran dan spekulasi. Tujuannya jelas menggiring opini publik agar percaya bahwa ada friksi di tingkat elit. Ini berbahaya, karena berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum," tegas Boni, Jumat (26/9/2025).

Boni menilai pola adu domba Presiden dan Kapolri bukanlah hal baru. Sebelumnya publik juga disuguhi berbagai isu palsu, mulai dari wacana reformasi Polri yang dipelintir, tudingan Presiden sudah mengirimkan nama calon Kapolri ke DPR, hingga klaim bahwa tim reformasi bentukan Kapolri menandingi komite bentukan Presiden.

Semua isu itu kandas setelah istana maupun DPR menegaskan tidak ada pertentangan.

"Ini pola sistematis: membangun narasi palsu, menggiring opini, dan berharap muncul keretakan antara Presiden dan Kapolri. Padahal ujungnya selalu terbantahkan," tambahnya.

Menurut Boni, tuduhan tanpa bukti tidak sekadar kritik, melainkan gerakan sistematis yang bisa mengguncang kepercayaan publik serta membuka celah bagi provokator untuk melemahkan ketahanan negara.

Reformasi Sudah Final, Saatnya Restorasi Polri

Baca Juga: Prabowo dan Presiden FIFA Sepakat Kolaborasi Majukan Sepak Bola Indonesia

Di sisi lain, Boni juga menyinggung aksi massa di depan Gedung DPR/MPR RI pada 15 September 2025. Menurutnya, gelombang protes tersebut membawa pesan penting: publik menolak jargon “reformasi Polri” yang kembali digulirkan.

"Reformasi Polri sudah final sejak 2002. Saat ini yang relevan adalah restorasi Polri, yakni penguatan, penyempurnaan, dan pengembalian marwah Polri agar tetap profesional, independen, dan berpihak pada rakyat," jelas Boni.

Landasan historisnya jelas: sejak MPR menetapkan Tap MPR No. VI/MPR/2000 yang memisahkan Polri dari TNI, hingga lahirnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. “Polri adalah buah dari reformasi itu sendiri. Karena itu, jangan lagi bicara reformasi Polri, yang kita butuhkan adalah penguatan kelembagaan,” tegas Boni.

Boni juga menilai bahwa kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membawa capaian signifikan: mulai dari modernisasi teknologi kepolisian, penguatan pendekatan humanis, hingga penerapan program Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).

"Di era Jenderal Sigit, Polri tidak lagi hanya identik dengan kekuatan bersenjata, melainkan hadir dengan wajah sipil yang humanis, responsif, dan transparan. Ini merupakan wujud nyata restorasi Polri," katanya.

Boni menekankan bahwa dukungan rakyat sangat krusial untuk menjaga soliditas Polri.

Load More