News / Nasional
Senin, 20 Oktober 2025 | 19:35 WIB
Ilustrasi pendidikan. Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, dunia pendidikan kian terdesak dengan program populis pemerintah. [Dok. Suara.com]
Baca 10 detik
  • Anggaran pendidikan dipangkas di bawah 20 persen untuk biayai program populis.

  • Putusan MK soal sekolah gratis diabaikan, 4,1 juta anak tak sekolah.

  • Kebijakan 'Sekolah Rakyat' dan 'Sekolah Garuda' ciptakan pendidikan berbasis kasta sosial.

Suara.com - Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran dinilai telah membawa arah pendidikan nasional semakin jauh dari amanat konstitusi.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merilis evaluasi tajam yang menyoroti tiga persoalan fundamental yang dianggap sebagai 'dosa konstitusional', di mana kebijakan pemerintah justru menyeret sektor pendidikan ke jalur populisme yang mengorbankan hak dasar warga negara.

Pertama, Anggaran Pendidikan 'Dibajak' untuk Program Populis

JPPI menyoroti pemangkasan anggaran pendidikan dalam APBN 2026 yang hanya mencapai 14 persen dari total anggaran nasional—jauh di bawah mandat konstitusi sebesar 20 persen.

Pemotongan ini disebut dilakukan untuk membiayai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang alokasinya justru dinaikkan menjadi Rp335 triliun, meskipun serapannya pada 2025 dinilai buruk.

"Ini bukan sekadar salah kelola, tapi dugaan pelanggaran konstitusi yang terang-benderang. Pemerintah memotong hak pendidikan anak-anak untuk membiayai proyek politik populis atas nama gizi,” tegas Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangannya, Senin (20/10/2025).

Kedua, Abaikan Putusan MK, 'Beri Makan Kebodohan'

Kritik kedua adalah sikap pemerintah yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024, yang mewajibkan pendidikan dasar gratis di sekolah negeri maupun swasta.

Kegagalan ini menyebabkan 4,1 juta anak di Indonesia tetap tidak bisa bersekolah karena faktor ekonomi.

Baca Juga: Aksi Setahun Prabowo-Gibran Sempat Memanas, Sebelum Massa Bubarkan Diri Usai Magrib

"Empat juta lebih anak Indonesia hari ini tidak sekolah karena negara gagal menunaikan kewajibannya. Pemerintah boleh bicara makan gratis, tapi kalau anaknya tidak sekolah, itu artinya negara sedang memberi makan kebodohan,” kata Ubaid.

Ketiga, Ciptakan 'Sekolah Kasta' Berbasis Kelas Sosial

Persoalan ketiga adalah munculnya kebijakan yang justru menciptakan segregasi sosial.

JPPI menyoroti model pendidikan yang memisahkan "Sekolah Rakyat" untuk anak miskin dan "Sekolah Garuda" untuk kelompok unggulan.

Model ini dinilai tidak solutif dan hanya menstigma kemiskinin.

“Kebijakan ini seolah berpihak pada rakyat kecil, tapi sesungguhnya menstigma kemiskinan. Sekolah Rakyat hanyalah kosmetik untuk menutupi ketidakmampuan negara menyediakan akses setara bagi semua,” ujar Ubaid. Menurutnya, Sekolah Garuda justru menciptakan "menara gading baru" bagi anak-anak berprivilege.

Load More