News / Nasional
Rabu, 12 November 2025 | 21:48 WIB
Ilustrasi lelaki korban kekerasan seksual. [Suara.com]
Baca 10 detik
  • Tuntutan maskulinitas membungkam pria korban kekerasan seksual.
  • Relasi kuasa timpang membuat sebagian pria menjadi rentan.
  • Korban didorong bersuara untuk memutus siklus kekerasan.

Suara.com - Tuntutan sosial agar laki-laki selalu tampil kuat dan dominan ternyata menjadi penjara tak kasat mata yang membungkam para pria korban kekerasan seksual.

Alih-alih mencari pertolongan, mereka justru terperangkap dalam siklus kekerasan yang terus berulang dalam sunyi, dibebani stigma dan rasa takut akan kehilangan harga diri.

Fenomena ini dibedah secara tajam oleh Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru, Nur Hasyim, dalam acara The Exist Talk bertema "Menghapus Stigma, Membangun Ruang Aman: Laki-Laki Korban Kekerasan Seksual juga Harus Speak Up," pada Rabu (12/11/2025).

Menurut Hasyim, tembok penghalang terbesar bagi korban pria adalah "jebakan maskulinitas" itu sendiri.

Ada ketakutan bahwa bersuara sama dengan mengakui kekalahan atau kelemahan, sebuah hal yang dianggap tabu bagi seorang laki-laki.

"Laki-laki jika bersuara itu seperti meruntuhkan harga dirinya menjadi laki-laki," ujarnya, menyoroti beban psikologis yang berat bagi korban.

Lebih jauh, Hasyim membongkar mitos bahwa semua laki-laki berada di puncak rantai kuasa.

Ia menegaskan, di antara komunitas laki-laki sendiri, terdapat relasi kuasa yang timpang, yang membuat sebagian dari mereka berada dalam posisi rentan—sama seperti perempuan.

"Laki-laki itu tidak menikmati kekuatan yang sama," jelasnya.

Baca Juga: Jeritan Sunyi di Balik Tembok Maskulinitas: Mengapa Lelaki Korban Kekerasan Seksual Bungkam?

Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru, Nur Hasyim, dalam acara The Exist Talk bertema "Menghapus Stigma, Membangun Ruang Aman: Laki-Laki Korban Kekerasan Seksual juga Harus Speak Up," pada Rabu (12/11/2025). [Suara.com/Safelia Putri]

Kerentanan inilah yang sering dieksploitasi oleh pelaku, namun sulit diakui oleh masyarakat.

Akibat dari kombinasi stigma dan penyangkalan ini, fenomena kekerasan seksual terhadap laki-laki menjadi krisis yang tersembunyi.

Kasusnya ada, namun sengaja tidak terlihat karena tidak pernah ada ruang untuk dibicarakan.

“Jadi, kekerasan seksual laki-laki menjadi hidden, menjadi invisible,” ucap Hasyim.

Dampaknya sangat destruktif. Korban dibiarkan bergulat sendirian dengan trauma, merasa tidak berdaya, dan yakin bahwa tidak ada seorang pun yang akan menolong.

Hasyim juga menyoroti bagaimana kelompok tertentu, seperti laki-laki yang dianggap feminin, seringkali menjadi target empuk untuk diberi label negatif dan menjadi korban kekerasan dari laki-laki lain.

Load More