News / Nasional
Jum'at, 17 Oktober 2025 | 17:15 WIB
Pernyataan kontroversial Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar soal pemberitaan kekerasan seksual di pesantren terlalu dibesar-besarkan mendapat kecaman dari kelompok masyarakat sipil. (ANTARA/HO-Humas UIN Maliki Ibrahim)
Baca 10 detik
  • Pernyataan Menag yang nilai berita kekerasan seksual di pesantren terlalu dibesar-besarkan tuai polemik.

  • Pernyataan tersebut dinilai melukai korban dan menciptakan impunitas bagi pelaku.

  • Sikap Menag dianggap menghalangi implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Suara.com - Pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, yang menilai pemberitaan media terkait kasus kekerasan seksual di pondok pesantren terlalu dibesar-besarkan, memicu kecaman keras dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS).

Menag dinilai lebih mementingkan nama baik institusi ketimbang keadilan bagi para korban.

Pernyataan Menag yang disampaikan tersebut dianggap telah menyangkal pengalaman traumatis korban dan berpotensi menciptakan ruang impunitas bagi pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan agama.

"Pernyataan tersebut melukai rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban kekerasan seksual di lingkungan pesantren karena mengecilkan dan cenderung menyangkal pengalaman korban, dan justru menghilangkan akuntabilitas dan membangun ruang impunitas dengan alasan atas nama baik pesantren," tulis pernyataan resmi KOMPAKS, Jumat (17/10/2025).

Bertentangan dengan UU TPKS

Lebih jauh, KOMPAKS menilai sikap Nasaruddin secara fundamental bertentangan dengan semangat dan mandat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang seharusnya menjadi payung hukum perlindungan korban.

Menurut koalisi tersebut, pernyataan seorang menteri yang mengecilkan skala masalah ini dapat secara langsung menghambat implementasi hukum di lapangan.

“pernyataan Menteri Agama bertentangan dengan semangat dan mandat UU TPKS dan berpotensi menghalangi implementasi UU TPKS, memperlemah kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan agama," tuturnya.

Pernyataan tersebut juga dinilai mengancam hak atas rasa aman bagi perempuan dan anak di lingkungan pendidikan, sekaligus menghalangi fungsi jurnalisme sebagai pengawas sosial.

Baca Juga: Menag: Jangan Sekali-kali Mengusik Sistem Peradaban yang Dikembangkan oleh Pesantren!

Atas dasar itu, KOMPAKS menyampaikan lima tuntutan kepada Menteri Agama. Pertama, meminta maaf secara terbuka atas pernyataannya yang menilai media massa membesar-besarkan kasus kekerasan seksual di pesantren. 

Kedua, melaporkan kepada publik terkait pelaksanaan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Keagamaan.

Ketiga, KOMPAKS mendesak pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dengan menambahkan ketentuan mengenai hak santri untuk bebas dari kekerasan, perundungan, dan intoleransi, serta kewajiban penyelenggara pesantren membangun ruang aman bagi seluruh santri.

Keempat, Menteri Agama diminta mendukung upaya masyarakat sipil dan kalangan pesantren yang sedang mengembangkan konsep pesantren ramah anak dan perempuan. Terakhir, KOMPAKS menuntut pengusutan tuntas terhadap seluruh kasus kekerasan di pesantren serta penghukuman tegas bagi para pelaku.

KOMPAKS menegaskan bahwa negara seharusnya tidak menutupi atau meremehkan kasus kekerasan seksual atas nama menjaga reputasi lembaga keagamaan. 

Load More